Pengantar
Doktrin pembangunanisme ala Orde Baru dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi sebagai panglima ujung-ujungnya harus dibayar mahal oleh segenap anak bangsa. Proyek-proyek pembangunan yang hanya mengejar target pertumbuhan ekonomi dan bersifat fisik ternyata berdampak pada krisis moneter yang berlanjut pada krisis politik sehingga memaksa sang penguasa rezim harus lengser keprabon.
Tanpa menafikan prestasi ‘keberhasilan’ dalam mengelola stabilitas politik dan ekonomi yang pernah diraih selama berkuasa, toh pada akhir pemerintahannya rezim kleptokratik ini mewariskan krisis multidimensi yang amat parah. Tidak hanya krisis moneter dan ekonomi yang hingga sekarang dampaknya masih kita rasakan, namun yang lebih parah lagi adalah, bencana krisis moral dan ekologi-lingkungan yang sungguh memprihatinkan.
Sebagai dampak krisis moral, kini korupsi semakin merajalela dan membudaya di seluruh strata pemerintahan. Bahkan sampai menular ke desa-desa. Sementara dampak yang muncul akibat krisis ekologi-lingkungan seakan-akan hampir setiap saat Indonesia tidak pernah sepi kedatangan bencana alam dan epedemi penyakit. Segala resiko di atas tidak lain adalah buah dari akibat yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam mengelola bangsa ini. Keserakahan segelinter elit yang memiliki otoritas dan power dalam menentukan kebijakan publik, tetapi tidak amanh. Tidak semestinya rakyat dijadikan obyek pembangunan dan sumberdaya alam dieksplotasi tanpa batas (boundless). Apabila kecenderungan menyimpang semacam ini terus dibiarkan, bukan mustahil kehidupan seluruh penduduk yang mendiami negeri ini kian bertambah sengsara. Kehidupan anak dan cucu kita menjadi sangat menderita karena alam tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Indonesia, kini sungguh menjadi sebuah negeri penuh ironi dan kemasghulan dalam hidup berbangsa di abad modern ini. Katanya, hidup di zaman yang semakin modern dan sarwa dimanjakan teknologi namun terasa seperti ‘teralienasi’ dari lingkungan sosial maupun lingkungan ekologis yang sehat. Di mana semestinya kita menjadi saling tergantung untuk menjaga kelangsungan spesies kita di masa depan.
Namun, sejauh ini tak banyak orang yang mau menyadari bahwa baik krisis sosial maupun ekologis membawa dampak dan konsekuensi yang besar bagi keberlangsungan kehidupan spesies manusia di bumi. Di mana-mana, terutama di kawasan perkotaan tumbuh menjamur rumah-rumah kaca dan gedung bertingkat pencakar langit meski ada kekhawatiran terhadap pemanasan global. Kasus pembalakan liar (illegal loging) terus terjadi tanpa peduli datangnya tanah longsor dan banjir bandang. Proyek-proyek reklamasi pantai terus digenjot tanpa mempedulikan bahaya rob dan abrasi pantai. Konversi lahan subur pertanian kian meningkat tanpa mau mengerti betapa kritisnya sistem ketahanan pangan kita yang rapuh.
Pendek kata, melihat fenomena musibah bencana alam yang datang bertubi-tubi di negeri kita maka sebagai penyebab bencana tersebut tidak lain karena memang sikap kita yang gemar memusuhi alam (binatang dan makhluk hidup lainnya). Yakni tidak mau menjaga sebaik mungkin lingkungan sekitar kita. Padahal, pada satu sisi kita ini hidup sangat tergantung kepada alam, akan tetapi di sisi yang lain, kita justru tidak mau memperlakukan alam sebagai subyek. Lingkungan sekitar sebenarnya merupakan satu entitas kehidupan yang sama seperti kita, memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagaimana yang dijaminkan Tuhan, Sang Maha Pencipta. Dengan demikian, jika kita termasuk umat beragama maka memusihi alam sama halnya mengingkari adanya nikmat Tuhan, istilah agamanya yaitu kufur bin ni’mah.
Indonesia: Archipelagic State
Indonesia disebut archipelagic state atau negara maritim. Karena sebagian besar luas wilayahnya, yakni dua pertiganya terdiri dari lautan, atau sebuah negara yang terdiri dari pulau-pulau yang dikelilingi lautan. Menurut catatan Walhi tahun 2006, wilayah kedaulatan Indoensia yang berupa daratan meliputi pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya sekitar 17.500 pulau yang terbentang dan tersebar mulai dari Sabang hingga Merauke. Wilayah laut Indonesia merupakan terluas di dunia, dengan luas totalnya 5,9 juta km persegi. Kita juga memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, yaitu sekitar 81.000 km. Dari keseluruhan luas wilayah terotori Indonesia yang sebesar 1.923.715 km3, sekitar 75 persen dari total wilayahnya adalah lautan yang amat kaya dengan sumberdaya alam (Kompas: 18/09/2004).
Kekayaan sumberdaya kelautan dan pesisir Indoensia tidak kalah besar dengan kekayaan di daratan, selain meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati (bahan mineral dan tambang) yang terkandung di dalamnya.
Dari aspek pertahanan, wilayah pesisir memiliki arti strategis untuk menangkal serangan musuh-musuh yang datang dari luar teritorial. Di samping itu, kawasan pesisir juga amat strategis untuk menunjang sistem ketahanan pangan nasional karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Seperti untuk jalur transportasi angkutan barang dan pariwisata.
Namun sayangnya, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu dalam pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah Indonesia yang sektoral dan proyek oriented serta bias daratan, akhirnya menjadikan laut tak ubahnya sebagai kolam sampah raksasa. Tempat muara pembuangan sampah-sampah penduduk dan limbah industri yang berasal dari kegiatan di wilayah daratan.
Dari aspek sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar (pemodal swasta) dan pengusaha asing. Sedangkan kelompok nelayan sebagai jumlah terbesar (sekitar 3,5 KK) merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia. Sutawi dan Hermawan (2004: 29) memperkirakan ada 70 persen populasi penduduk nelayan Indonesia yang hidup dalam kondisi miskin. Jika diambil rata-rata tiap anggota keluarga nelayan itu 5 orang, berarti ada 17,5 juta penduduk Indonesia yang secara langsung menggantungkan hidup mereka dari laut.
Sungguh merupakan suatu ironi, negara Indonesia yang disebut negara maritim terbesar di dunia karena memiliki dua pertiga wilayah berupa lautan dengan panjang garis pantai 81.000 km, dengan sumberdaya kelautan yang melimpah ruah akan tetapi justru sebagian besar masyarakat nelayan kita justru hidup dalam gelimang kemiskinan. Sekedar contoh, kondisi ekonomi nelayan di Kabupaten Tuban, pengahasilan rumah tangga nelayan tradisonal hanya memperoleh pendapatan rata-rata perbulan sekitar Rp. 300.000,- s/d Rp. 500.000,-. Nilai pendapatan di bawah ketentuan gaji UMR daerah yang jumlahnya mencapai Rp. 660.000,- perbulan. Sebaliknya, beberapa negara yang memiliki potensi dan sumberdaya kelautan lebih sedikit seperti negara Thailand memiliki pembangunan sektor perikanan yang maju dan cukup kokoh dibandingkan Indonesia, sehingga nelayan di sana kehidupanya relatif lebih makmur (Gautama, 2003: 165).
Terhadap laut, Indonesia tidak hanya memiliki kebanggaan dari aspek territorial- geografis. Sejarah kejayaan Indonesia di masa lalu sebagai negara maritim di dunia merupakan entitas kedaulatan sebuah negara yang cukup disegani dan diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. Kemasyhuran Majapahit dan Sriwijaya sebagai negara maritim telah membuktikan hal itu. Kapal-kapal niaga dan ekspedisi kedua kerajaan besar di Nusantara ini banyak disebutkan dalam literatur sangat berperan penting dalam konstalasi dunia, baik dalam perdagangan maupun kebudayaan. Maka disinilah arti pentingnya meletakan laut sebagai bagian dari sistem pertahanan negara di samping bagian integral dari sistem pertahanan pangan rakyat. Dengan demikian kewajiban kita sebagai warga negara terhadap laut yaitu melakukan penjagaan dan melestarikan seluruh aset sumberdaya kelautan yang kita miliki.
Selain karena faktor letak geografis di persimpangan jalur transportasi dunia yang strategis, bahwa kemasyhuran kedaulatan laut Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang di masa lalu. Pertama, adalah peranan kerjasama dalam perdagangan antar pulau yang berjalan secara dinamis. Ditilik dari perspektif ekonomi, hal ini berarti para pendahulu kita telah mampu menciptakan mekanisme pasar dalam skala lintas etnis dan budaya melalui kontak-kontak bisnis yang berlangsung di kota-kota niaga pantai di sepanjang jalur perdagangan Nusantara. Oleh karena itu, patut diduga bahwa budaya kosmopolitan yang berkembang di Nusantara terutama di kawasan kota-kota pesisir merupakan dampak positif dari kerjasama ekonomi antar pulau tersebut.
Kedua, bersanding dengan lancarnya kegiatan perdagangan antar pulau-pulau di sepanjang jalur navigasi perairan laut Nusantara --dimulai dari arah barat yaitu Bandar Samudera hingga ke arah timur, Bandar Bima—terjalin pula kontak budaya dan misi penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pelancong. Para juru dakwah awal yang memasuki wilayah Melayu-Nusantara adalah berasal dari daratan Arabia, Persia, Gujarat dan Indocina. Mereka berkeliling dari satu bandar niaga ke bandar niaga lainnya. Mencapai pendaratan dari satu pulau ke pulau lainnya. Sehingga masyarakat setempat meyebut mereka sebagai da’i kelililing atau kiai lelono. Aktivitas da’i keliling ini disamping menekuni profesi sebagai pedagang pelancong mereka juga aktif berdawah agama kepada penduduk di sekitar bandar niaga yang kebetulan sedang disinggahinya. Sejarah mencatat bahwa nama komunitas “kauman” yang biasanya terdapat di kota-kota niaga pesisiran pada awalnya muncul karena dilatarbelakangi oleh intensitas dakwah Islam yang dilakukan oleh para saudagar yang sekaligus berperan sebagai kiai lelono tadi.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah terbentuk kantong-kantong masyarakat Islam atau social grouping yang disebut komunitas kauman tadi, kemudian mulai didirikan pusat-pusat studi keislaman yaitu pesantren. Sebut misalnya pesantren Sunan Bonang yang berada di Tuban, pesantren Sunan Giri yang berada di Gresik, pesantren Sunan Ampel yang berada di kawasan Ampel Denta kota Surabaya, dll. Umumnya pusat-pusat studi dan peradaban Islam di masa itu terletak tidak jauh dari kawasan bandar niaga yang ramai dengan semarak aktivitas perdagangan.
Setelah pusat-pusat studi Islam ini mengalami kemapanan di daerahnya masing-masing dan terus sertai mobilitas para juru dakwah yang terus berlanjut dan membentuk semacam koneksi jaringan intelektuan (ulama’) Nusantara (Azra, 2002: 63-89). Maka dari latar historis ini dapat diketahui bahwa perkembangan Islam Nusantara (baca; Indonesia) tidak terlepas dari kawalan budaya niaga yang bercorak kosmopolit, terbuka dan penuh toleransi dengan budaya serta adat istiadat lokal setempat. Para juru dakwah yang sudah membentuk jaringan ulama ini selalu memperkenalkan wajah Islam kepada masyarakat Nusantara melalui ruang-ruang dialog, forum pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya, yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi. Strategi akulturasi budaya merupakan pilihan yang dianggap bijak untuk mendialogkan Islam dengan khazanah dan tradisi lokal yang telah hidup berabad-abad di tengah-tengah masyarakat, sehingga kehadiran misi Islam --rahmatan lil’alamin-- turut mewarnai dengan nilai-nilai profetis-transformatif yang diembannya supaya lebih mudah diterima dan cepat membumi di bumi Nusantara.
Ketiga, dengan semakin lancarnya kontak-kontak perdagangan dan kebudayaan di atas maka peranan alat komunikasi yang dalam hal ini bahasa Melayu sebagai lingua franca kian mendominasi dalam percaturan ekonomi dan kebudayaan antar daerah. Dengan demikian, secara teori dapat digambarkan, secara perlahan-lahan dengan peranan bahasa Melayu (baca; plus Arab pegon) sudah mulai membentukan konstruk kebudayaan besar yaitu budaya khas Nusantara, yang mana unsur-unsurnya dirangkai dari pelbagai budaya lokal di masing-masing daerah. Lebih jauh, sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia modern dapat dilacak dalam konteks dan latar historis ini. Maka sangat bisa diterima secara nalar kalau pada peristiwa bersejarah, tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu diterima para perwakilan pemuda se-Tanah Air dalam Kongkres Pemuda pertama sebagai bahasa persatuan yang kembali diikrarkan menjadi Bahasa Indonesia.
Namun sayangnya, setelah kedatangan bangsa-bangsa imperalis dan kolonialis Barat kedigdayaan maritim Nusantara yang telah bertahan berabad-abad lamanya mengalami kemandegkan total, kemudian terputus akibat politik devide et impera sang penjajah. Kedatangan orang-orang kulit putih ini hanya ingin menguras kekayaan alam Indonesia dan penduduk pribumi, sedangkan hubungan kerjasama perdagangan yang dijalin dengan para penguasa lokal hanyalah sebuah kedok belaka (Alwi, 2005). Dampak kekejaman dan keserakahan penjajah kolonial terhadap bangsa kita mengakibatkan penderitaan panjang hingga membekaskan luka sejarah yang amat dalam.
Bertolak dari latar sejarah kejayaan maritim tempo dulu, di sini dapat ditegaskan bahwa kalau bangsa ini mau memperkuat integrasi nasional sekaligus ketaguhan ekonomi bangsa maka titik pangkalnya adalah membangun kekuatan basis pertahanan dunia kemaritiman dengan serius.
Krisis Ekologi-Kelautan di Pantura
Dewasa ini, kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin tambah mengkhawatir-kan. Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) pencemaran air sungai dan laut, ekosistem terumbu karang dan pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya yang dapat berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi tanaman pantai yang dapat menahan laju gelombang pasang. Runyamnya lagi, banyak kawasan hutan bakau yang jadi gundul karena ulah para pemodal yang melakukan konversi lahan, apakah untuk kepentingan industri, property ataupun bisnis pariwisata yang sebenarnya menyalahi peraturan tata ruang kelautan daerah. Yang lebih aneh, perbuatan tersebut justru malah dibiarkan oleh penguasa setempat karena dianggap bisa menambah pemasukan bagi pihak-pihak yang memegang otoritas atau menaikan angka pendapatan asli daerah (PAD).
Paling tidak ada dua faktor penting yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Faktor yang pertama adalah, pesatnya pembangunan industri di daratan tepi dan lepas pantai. Pertumbuhan industri di daerah Pantura Jawa Timur di tengarahi sebagai pihak yang paling besar berkontribusi dalam pencemaran lingkungan kelautan. Untuk satu dekade terakhir ini kondisi lingkungan laut di kawasan pantai dari Surabaya hingga ke wilayah perbatasan sebelah barat Propinsi dampak kerusakannya sudah sangat terasa sekali karena berpengaruh langsung terhadap penurunan hasil tangkapan para nelayan, utamanya yang masih mengandalkan alat tangkap tradisional.
Perkembangan industri-manufaktur memang diakui telah mampu menjawab persoalan kesejahteraan dan kesenjangan sosial, tetapi buah akibatnya ternyata harus dibayar amat mahal karena berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan.
Akselerasi pertumbuhan industi di kawasan daratan dan pesisir Pantai Utara telah mengakibatkan gundulnya hutan mangrove disekitarnya. Ditambah pula pembangunan pelabuhan industri terpadu, dan tempat-tempat wisata tepi pantai di Kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban banyak mengahasilkan limbah buangan yang mengakibatkan, pendangkalan sungai, sendimen laut dan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang.
Sekedar ilustrasi, bahwa keberadaan tanaman hutan bakau berfungsi amat penting sebagai peredam gelombang pasang dan angin badai, pelindung abrasi, penahan lumpur dan perangkap sendimen agar tidak mudah lonsor digerus gelombang laut. Menipisnya jumlah tanaman hutan bakau akan berdampak pada rentannya kawasan pesisir pantai dari ancama bencana dari arah laut.
Seperti yang dilaporkan mingguan Tempo (Edisi: 6/05/2007), keseluruhan luas hutan bakau di Indonesia pada tahun 1982 tercatat 4,2 juta hektare. Akibat alih fungsi, empat tahun kemudian menyusut satu juta hektare menjadi 3,2 juta hektare. Dan pada tahun 2005, luasnya tinggal separuhnya. Kerusakan hutan bakau di daerah pemukiman nelayan juga akibat ditebangi untuk dijual kepada masyarakat atau dimanfaatkan sendiri untuk berbagai kebutuahn rumah tangga (Kusnadi, 2006:189).
Faktor lain yang juga merisaukan bagi usaha menjaga kelestarian ekosistem laut dan kawasan pesisir yaitu meningkatnya populasi penduduk yang semakin pesat. Sebagaimana kata pepatah, ”ada gula ada semut”. Di mana ada pundi-pundi uang dibangun maka di situ pula akan menarik datangnya banyak manusia. Terbukanya peluang dan kesempatan kerja yang ditawarkan oleh industri di kawasan pesisir menghadirkan tenaga kerja dari berbagai daerah, dan dari berbagai lapisan masyarakat dengan bermacam-macam kualifikasi. Di samping berdampak pada masalah krisis lingkungan kehadiran industri juga akan melahirkan problem mobilitas penduduk dan kelangkaan pekerjaan, terutama bagi penduduk yang miskin akses (Usman, 1998: 245).
Dengan semakin banyaknya pusat-pusat industri yang dibangun di area tepi laut maka secara otomatis akan diikuti dengan pertumbuhan penduduk yang begitu padat. Tingkat kepadatan itu menambah beban yang amat berat bagi lingkungan karena daya dukung sumberdaya alam yang ada sangat terbatas. Sumberdaya alam yang tersedia ternyata semakin tidak seimbang dengan lajunya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk. Lingkungan tidak pernah berhenti dieksplorasi dengan berbagai macam cara dan argumentasi.
Secara otomatis, dengan bertambahnya jumlah penduduk di kawasan pesisir pantai menuntut ketersediaan lahan yang cukup untuk kebutuhan papan dan aktivitas bisnis penunjang. Guna memenuhi kebutuhan tempat pemukiman tersebut dibuatlah kebijakan tentang konversi lahan. Pengadaan proyek konversi atau alih fungsi lahan berdampak pada pengerukan gunduk pasir, pengebrukan tambak atau rawa-rawa serta reklamasi pantai. Demikian juga dilakukan penebangan pohon-pohon bakau demi memenuhi kecukupan lahan untuk konversi. Akibatnya, setiap terjadi air laut pasang tidak hanya genangan rob dan abrasi yang mengganggu aktivitas rutin warga yang berdomisili di sebagian wilayah Pantura, akan tetapi secara ekonomis juga merugikan karena produktivitas pertumbuhan bibit nener (bandeng), windu dan kepiting cenderung menurun drastis.
Semakin bertambah padat area kawasan pemukiman penduduk pesisir juga berpotensi menghasilkan produksi sampah yang cukup besar. Selain kiriman limbah industri, sampah-sampah dari sektor rumah tangga dan industri rumahan di sekitar pantai umumnya banyak di buang ke sungai atau langsung ke laut. Laut, sepertinya berfungsi menjadi tong sampah raksasa yang sanggup menampung aneka macam rupa sampah dan racun seberapun banyaknya. Fenomena ini akan terus berlangsung selama belum ada kesadaran massif penduduk kawasan pantai untuk mengelola sampah secara benar sehingga tidak mengganggu lingkungan.
Selanjutnya, kontribusi yang cukup besar terhadap kerusakan ekosistem laut juga diakibatkan adanya aktivitas para nelayan sendiri. Modernisasi di sektor kelautan yang hanya dipahami sebatas peningkatan hasil tangkapan mendorong para nelayan secara leluasa dan sembrono mengoperasikan alat tangkap yang justru merusak eksistem laut. Seperti penggunaan pukat harimau atau mini trawl, pukat dogol, payang methek, bom ikan atau racun kimia potasium, dsb. Sejauh pengamatan penulis, terhadap kegiatan penangkapan yang over-eksploitasi atau overfishing belum ada upaya pencegahan yang serius dari pemerintah daerah setempat meskipun tindakan tersebut sangat mengancam ketersediaan sumberdaya perikanan dan kelangsungan hidup nelayan di masa depan.
Semua kerusakan biofisik-lingkungan laut di atas adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian alam dan daya dukung lingkungannya. Ilustrasi tabel di bawah adalah salah satu contoh penggunaan alat tangkap oleh nelayan modern maupun tradisional yang dapat mengancam kelestarian ekosistem laut dan sampai sekarang masih dioperasikan di wilayah perairan Gresik, Lamongan dan Tuban.
Kebanyakan nelayan yang beroperasi di wilayah laut Pantura Jawa Timur sudah menggunakan mesin untuk menggerakan laju perahu, bahkan bagi nelayan perahu kursin dan perahu ijon malah menambah mesin gardan untuk menarik pukat dan payang pethek-nya. Keduanya beroperasi di area tangkap berjarak 30 mil lebih dari bibir pantai. Bagi nelayan kursin atau kapal besar malahan kalau melaut bisa sampai memakan waktu seminggu lebih atau sebulan baru mendarat. Sedangkan kalau nelayan ijon hanya memerlukan waktu sekitar 12 – 14 jam dalam beroperasi setiap hari.
Bagi nelayan srool, jukung dan lolopik mereka pada umumnya melakukan operasi tangkap pada perairan berjarak kurang dari 30 mil dari lepas pantai. Untuk beroperasi melebihi jarak tempuh 30 mil sangat beresiko mengingat ukuran perahu mereka relatif kecil dan riskan kecelakaan apabila sewaktu-waktu datang gelombang besar.
Konflik Sumberdaya Laut Atau Titik Balik Blue Revolution
Pada periode tahun 1970-an, salah satu kebijakan politik pembangunan yang diusung oleh pemerintahan Orde Baru adalah melakukan modernisasi pembangunan di sektor pertanian dan kelautan, --meskipun masalah kemaritiman seakan-akan diabaikan karena kebijakan pemerintah lebih berorientasi dan berkiblat ke daratan. Namun pada dasarnya, paradigma yang dianut dalam doktrin pembangunan nasional tersebut sebetulnya adalah penerapan ideologi produktivitas sebagai ”pembenaran” terhadap eksploitasi sumberdaya alam yang ada.
Untuk sektor pertanian, diterapkan mega-proyek industrialisasi pertanian yang dikenal dengan istilah revolusi hijau (green revolution). Yaitu program intensifikasi dalam rangka peningkatan produk-produk pertanian. Sedangkan untuk sektor kelautan dikenal dengan istilah blue revolution atau revolusi biru. Bentuk konkret dari program revulusi biru adalah pengadaan motorisasi pada teknik penangkapkan ikan di laut yang diperlengkapi pula penggunaan jaring trawl atau pukat harimau. Hal ini berarti nelayan kebetulan punyak akses teknologi alat tangkap modern secara legal untuk melakukan eksplotasi sumberdaya perikanan secara penuh, tanpa peduli masalah batas ketersediaan sumberdaya perikanan dan keberlangsungan ekosistem laut terancam punah.
Namun, setelah berjalan hampir satu dasawarsa dampak kelangkaan sumberdaya perikanan yang diakibatkan oleh penggunaan trawl sangat dirasakan oleh para nelayan tradisional yang minim akses teknologi karena semakin susah mencari hasil tangkapan. Akibatnya, muncul kecemburuan sosial dan kerap berakhir konflik horisontal. Praktis pengoperasian trawl yang menyebabkan tangkap lebih (overfishing) pada tahun 1980 dilarang oleh pemerintah. Pada tahun 1980, untuk menghilangkan keresahan sosial di kalangan masyarakat nelayan akibat beroperasinya trawl dikeluarkanlah Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl atau pukat harimau.
Dengan alasan yang sama, untuk mengantisipasi masalah kelangkaan sumberdaya perikanan dan kelautan, Menteri Pertanian yang saat itu membawahi masalah kelautan mengeluarkan SK N0. 317/Kpts./Um/1975 yang isinya melarang pengoperasian penangkapan ikan di wilayah perairan laut Jawa Timur dengan menggunakan perahu motor berkekuatan lebih 35 PK dan alat tangkap purse seine yang panjangnya lebih dari 300 meter dan lebar 20 meter. Pelarangan ini dilakukan karena wilayah/teritorial yang ada dan potensi sumberdaya perikanan yang tersedia semakin langka (Kusnadi, 2006: 117). Kelangkaan sumberdaya perikanan sangat riskan memicu konflik sosial di kalangan masyarakat nelayan.
Kembali pada persoalan akar konflik sumberdaya perikanan; pertama, bahwa munculnya konflik di antara kelompok nelayan disebabkan oleh faktor kecemburuan sosial dan penurunan pendapatan hasil tangkapan (kelangkaan sumberdaya), sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kasus munculnya masalah kecemburuan sosial lebih disebabkan oleh perbedaan akses teknologi pealatan tangkap, yang dalam hal ini nelayan yang memiliki modal besar bisa secara mudah memilikinya dan sekaligus juga menguasai jaringan distribusi pasar.
Adapun faktor yang mengakibatkan penurunan hasil tangkapan yaitu kegiatan illegal fishing dan overfishing sebagai akibat dioperasikannya teknologi peralatan tangkap cukup besar, yang berimplikasi pada sempitnya fishing ground. Termasuk kasus penggundulan hutan bakau di kawasan tepi pantai yang sangat burfungsi untuk pengembangbiakan bibit-bibit ikan, nener, udang, kepiting dan binatang laut lainnya.
Faktor selanjutnya adalah, konflik sosial kelautan juga diakibatkan oleh ambiguitas pemikiran nelayan (lokal) yang mengklaim bahwa sumberdaya perikanan adalah bagian dari hak ulayat nelayan yang mendiami wilayah pesisir setempat (quasi private proverty). Padahal sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan sumberdaya milik umum (commons property recources) yang pemanfaatannya terbuka untuk siapapun atau open access property. Tetapi, berdasarkan pasal 33 UUD 1945, dan UU Pokok Perairan No. 6/1996, dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property). Atas dasar inilah diharapkan “intervensi” pemerintah dalam pengaturan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan dapat meredam konflik sosial di masyarakat.
Oleh karena itu, adanya perbedaan persepsi terkait penerapan konsep pemilikan dan penguasaan sumberdaya ini mendorong ambiguitas atau ketidakjelasan siapa yang berhak untuk mengelolanya. Hal ini selanjutnya mendorong berbagai stakeholder untuk mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini secara berlebihan, kalau tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, dan tidak ada insentif untuk melestarikannya, sehingga terjadi the tragedy of commons yang baru.
Dan yang terakhir adalah terkait faktor penegakan hukum yang lemah dan jauh dari rasa keadilan oleh masyarakat nelayan. Persaingan dalam memperebutkan hasil tangkapan seperti jenis ikan demersal dan udang laut (lobster) yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan pasar yang prospektif merupakan hal yang tak terelakan bagi masyarakat nelayan. Akibat perebutan daerah tangkapan serta keterbatasan teritorial distribusi spesies ikan komersial dan tidak dilaksanakannya aturan hukum yang berlaku dengan pengawasan yang ketat menyebabkan persaingan menjadi konflik yang cenderung destruktif. Kalau tidak ada ketegasan pihak yang berwenang dalam penegakan aturan main, maka sudah pasti akan berlaku motto ’only the fittes will survive’ dalam pertarungan memperebutkan area tangkap yang dianggap potensial.
Sampai sekarang ini konflik sosial terkait kelangkaan sumberdaya antara kelompok nelayan kursin dan kapal yang berasal dari Bulu atau dari daerah lain dengan nelayan tradisional yang umumnya berdomisi di wilayah Kecamatan Tambakboyo dan Jenu dan sekitarnya tetap berlansung. Walaupun konflik bersifat laten, namun intensitasnya belum juga menurun. Hal ini dipicu oleh ulah para nelayan kapal dan kursin yang selalu usil untuk melakukan aktivitas tangkapan (istilah lokal; nawur) di areal tendak atau anggas (sejenis rumpon ikan buatan), bahkan mereka juga tidak segan-segan untuk merusak rumpon tersebut. Bagi nelayan tradisional, tendak dan anggas merupakan tempat mereka menggantungkan nasib untuk mendapatkan hasil tangkapan, karena di situlah tempat yang digadang-gadang bermukimnya banyak ikan. Mengingat di beberapa tempat yang sebelumnya menjadi kawasan teritorial distribusi spesies ikan kian terbatas jumlahnya setelah rusaknya ekologi laut dan ekosistem terumbu karang akibat over eksploitasi dan kiriman limbah industri yang berasal dari daratan di sepanjang perairan pantai Tuban.
Penutup
Merupakan serangkaian penutup, di sini penulis mencoba menawarkan solusi untuk menanggulangi terjadinya proses kerusakan ekosistem kelautan di sepanjang kawasan perairan Pantai Utara Jawa Timur yang akhir-akhir ini gejalanya cenderung tambah parah. Dalam hal ini, maka sebagai langkah awal yang perlu dikerjakan adalah, Pemerintah Daerah hendaknya dapat bekerja lebih serius untuk membuat regulasi yang mengatur tata ruang kelautan dan lingkungan pesisir. Di mana konteks pembuatannya lebih di dasarkan pada kepentingan yang pro-nelayan dan demi menjaga kelangsungan sumberdaya laut dan pesisir. Dan yang perlu dihindari adalah adanya kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah (Perda) berdasarkan kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sebab, pengaturan demikian, telah dan akan melahirkan “ketidakpastian” hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir.
Langkah kedua merupakan kelanjutan dari yang pertama, yaitu penegakan aturan main terkait eksplorasi dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Para penegak hukum harus mengambil tindakan tegas bagi pihak-pihak yang melanggar hukum terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan. Lemahnya law infocement akan mudah menyulut konflik sosial terbuka yang cenderung anakhis dan destruktif. Dan tentu saja onkos yang harus ditanggung untuk resolusi cukup mahal di samping juga butuh waktu yang relatif lama untuk mengembalikan pada kondisi semula (integratif).
Ketiga, peningkatan program konservasi lingkungan pesisir dan kelautan yang berorientasi produktif dan bernilai manfaat bagi masyarakat pesisir. Misalnya untuk menanggulangi kerusakan biota laut diupayakan program pembuatan rumpon laut. Keberadaan rumpon buatan berfungsi layaknya terumbu karang yang bisa berfungsi sebagai persemaian biota laut dan tempat yang nyaman bagi ikan-ikan yang bertelor. Sedangkan untuk penghijaun kawasan pesisir sekaligus untuk pemberdayaan ekonomi perlu diadakan reboisasi kawasan pesisir dengan penanaman hutan mangrove yang bernilai ekonomis. Sebagaimana dilaporkan koran Tempo (6/05/2007) terdapat tanaman mangrove jenis Brugueragym norrhiza yang memiliki buah seperti kacang panjang dan bisa dibuat sebagai bahan baku dodol. Ada pula jenis tanaman bakau yang buahnya bisa dibikin bahan baku donat, lumpia, onde-onde, kolak, puding, sirup dan rujak pedada. Beberapa jenis mangrove seperti Lumnitzera spp dan Pemphis acidula juga merupakan jenis tanaman bakau yang bagus untuk dibuat bonsai serta memiliki nilai ekonomi tinggi. Harga tanaman hias ini bisa mencapai 2 juta perbuah.
Keempat, revitalisasi kearifan lokal (local wisdom) sebagai gerakan budaya sadar lingkungan. Di dalam maind set-nya sudah barang tentu terpola structure of knowledge, yang mengilhami bagaimanan masyarakat pesisir dapat mempertahankan survival-nya. Apakah hal itu berasal dari pengalaman hidup ketika bersentuhan dengan alam sehari-hari, keyakinan agama yang dianut, serta norma-norma sosial maupun adat-istiadat yang diwariskan, yang kemudian jamak disebut kearifan tradisonal, ketika demikian itu tetap dilestarikan. Walhasil, agenda keempat ini terkait erat dengan latar belakang sosial-keagamaan dan budaya masyarakat pesisir.
Masyarakat pesisir dikenal sebagai penganut Islam yang taat dan militan. Pada domain ini, selayaknya nilai-nilai agama (Islam) menjadi inspirasi moral-kesadaran terhadap lingkungan. Meminjam bahasa Ronal Higgins, sebagai new ethic of conciousness, --yang harus ditumbuhkan melalui kehidupan spiritual seseorang. Maka di sinilah makna pentingnya peranan para tokoh agama (ustadz, guru dan kiai) mendakwahkan nilai-nilai profetik-transformatif agama menjadi gerakan nyata terhadap kelestarian lingkungan. Bukan sekedar menjadikan agama sebatas pada masalah peribadatan (mahdlah) atau liturgi per se. Tapi misi dan peranan agama harus sanggup menjawab persoalan dan tantangan masyarakat dan bangsa secara nyata.
Selanjutnya, dalam ikhiyar menjaga kelestarian lingkuangan kelautan maka agenda revitalisasi kearifan tradisional (pesisir), dalam konteks konservasi berwawasan budaya (adat), hendaknya mengembalikan entitas komunitas pesisir sebagai masyarakat yang jatidiri sesungguhnya adalah masyarakat ekologis. Bahwa seluruh jiwa dan raga mereka tidak bisa dipisahkan dengan laut. Menurut Keraf (2005: 280-281) dalam hal ini ada tiga hal yang perlu dijadikan tinjauan. Pertama, cara pandang masyarakat pesisir tentang dirinya, alam dan hubungan antara manusia dan alam (laut). Kedua, kekhasan pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat pesisir (adat), sekaligus menentukan pola hidup dan perilaku masyarakat pesisir terhadap alam. Dan ketiga, perlindungan hak-hak masyarakat pesisir karena dengan melindungi hak-hak mereka secara otomatis lingkungan sekitarnya juga ikut terlindungi.
Akhir kata penulis tegaskan, bahwa problem krisis ekologi lingkungan bukan semata-mata persoalan teknis parsial, melainkan persoalan holistik dan kompleks yang menyangkut aspek budaya, sosial, moral dan politik. Wallahu a’lam.
Doktrin pembangunanisme ala Orde Baru dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi sebagai panglima ujung-ujungnya harus dibayar mahal oleh segenap anak bangsa. Proyek-proyek pembangunan yang hanya mengejar target pertumbuhan ekonomi dan bersifat fisik ternyata berdampak pada krisis moneter yang berlanjut pada krisis politik sehingga memaksa sang penguasa rezim harus lengser keprabon.
Tanpa menafikan prestasi ‘keberhasilan’ dalam mengelola stabilitas politik dan ekonomi yang pernah diraih selama berkuasa, toh pada akhir pemerintahannya rezim kleptokratik ini mewariskan krisis multidimensi yang amat parah. Tidak hanya krisis moneter dan ekonomi yang hingga sekarang dampaknya masih kita rasakan, namun yang lebih parah lagi adalah, bencana krisis moral dan ekologi-lingkungan yang sungguh memprihatinkan.
Sebagai dampak krisis moral, kini korupsi semakin merajalela dan membudaya di seluruh strata pemerintahan. Bahkan sampai menular ke desa-desa. Sementara dampak yang muncul akibat krisis ekologi-lingkungan seakan-akan hampir setiap saat Indonesia tidak pernah sepi kedatangan bencana alam dan epedemi penyakit. Segala resiko di atas tidak lain adalah buah dari akibat yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam mengelola bangsa ini. Keserakahan segelinter elit yang memiliki otoritas dan power dalam menentukan kebijakan publik, tetapi tidak amanh. Tidak semestinya rakyat dijadikan obyek pembangunan dan sumberdaya alam dieksplotasi tanpa batas (boundless). Apabila kecenderungan menyimpang semacam ini terus dibiarkan, bukan mustahil kehidupan seluruh penduduk yang mendiami negeri ini kian bertambah sengsara. Kehidupan anak dan cucu kita menjadi sangat menderita karena alam tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Indonesia, kini sungguh menjadi sebuah negeri penuh ironi dan kemasghulan dalam hidup berbangsa di abad modern ini. Katanya, hidup di zaman yang semakin modern dan sarwa dimanjakan teknologi namun terasa seperti ‘teralienasi’ dari lingkungan sosial maupun lingkungan ekologis yang sehat. Di mana semestinya kita menjadi saling tergantung untuk menjaga kelangsungan spesies kita di masa depan.
Namun, sejauh ini tak banyak orang yang mau menyadari bahwa baik krisis sosial maupun ekologis membawa dampak dan konsekuensi yang besar bagi keberlangsungan kehidupan spesies manusia di bumi. Di mana-mana, terutama di kawasan perkotaan tumbuh menjamur rumah-rumah kaca dan gedung bertingkat pencakar langit meski ada kekhawatiran terhadap pemanasan global. Kasus pembalakan liar (illegal loging) terus terjadi tanpa peduli datangnya tanah longsor dan banjir bandang. Proyek-proyek reklamasi pantai terus digenjot tanpa mempedulikan bahaya rob dan abrasi pantai. Konversi lahan subur pertanian kian meningkat tanpa mau mengerti betapa kritisnya sistem ketahanan pangan kita yang rapuh.
Pendek kata, melihat fenomena musibah bencana alam yang datang bertubi-tubi di negeri kita maka sebagai penyebab bencana tersebut tidak lain karena memang sikap kita yang gemar memusuhi alam (binatang dan makhluk hidup lainnya). Yakni tidak mau menjaga sebaik mungkin lingkungan sekitar kita. Padahal, pada satu sisi kita ini hidup sangat tergantung kepada alam, akan tetapi di sisi yang lain, kita justru tidak mau memperlakukan alam sebagai subyek. Lingkungan sekitar sebenarnya merupakan satu entitas kehidupan yang sama seperti kita, memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagaimana yang dijaminkan Tuhan, Sang Maha Pencipta. Dengan demikian, jika kita termasuk umat beragama maka memusihi alam sama halnya mengingkari adanya nikmat Tuhan, istilah agamanya yaitu kufur bin ni’mah.
Indonesia: Archipelagic State
Indonesia disebut archipelagic state atau negara maritim. Karena sebagian besar luas wilayahnya, yakni dua pertiganya terdiri dari lautan, atau sebuah negara yang terdiri dari pulau-pulau yang dikelilingi lautan. Menurut catatan Walhi tahun 2006, wilayah kedaulatan Indoensia yang berupa daratan meliputi pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya sekitar 17.500 pulau yang terbentang dan tersebar mulai dari Sabang hingga Merauke. Wilayah laut Indonesia merupakan terluas di dunia, dengan luas totalnya 5,9 juta km persegi. Kita juga memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, yaitu sekitar 81.000 km. Dari keseluruhan luas wilayah terotori Indonesia yang sebesar 1.923.715 km3, sekitar 75 persen dari total wilayahnya adalah lautan yang amat kaya dengan sumberdaya alam (Kompas: 18/09/2004).
Kekayaan sumberdaya kelautan dan pesisir Indoensia tidak kalah besar dengan kekayaan di daratan, selain meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati (bahan mineral dan tambang) yang terkandung di dalamnya.
Dari aspek pertahanan, wilayah pesisir memiliki arti strategis untuk menangkal serangan musuh-musuh yang datang dari luar teritorial. Di samping itu, kawasan pesisir juga amat strategis untuk menunjang sistem ketahanan pangan nasional karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Seperti untuk jalur transportasi angkutan barang dan pariwisata.
Namun sayangnya, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu dalam pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah Indonesia yang sektoral dan proyek oriented serta bias daratan, akhirnya menjadikan laut tak ubahnya sebagai kolam sampah raksasa. Tempat muara pembuangan sampah-sampah penduduk dan limbah industri yang berasal dari kegiatan di wilayah daratan.
Dari aspek sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar (pemodal swasta) dan pengusaha asing. Sedangkan kelompok nelayan sebagai jumlah terbesar (sekitar 3,5 KK) merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia. Sutawi dan Hermawan (2004: 29) memperkirakan ada 70 persen populasi penduduk nelayan Indonesia yang hidup dalam kondisi miskin. Jika diambil rata-rata tiap anggota keluarga nelayan itu 5 orang, berarti ada 17,5 juta penduduk Indonesia yang secara langsung menggantungkan hidup mereka dari laut.
Sungguh merupakan suatu ironi, negara Indonesia yang disebut negara maritim terbesar di dunia karena memiliki dua pertiga wilayah berupa lautan dengan panjang garis pantai 81.000 km, dengan sumberdaya kelautan yang melimpah ruah akan tetapi justru sebagian besar masyarakat nelayan kita justru hidup dalam gelimang kemiskinan. Sekedar contoh, kondisi ekonomi nelayan di Kabupaten Tuban, pengahasilan rumah tangga nelayan tradisonal hanya memperoleh pendapatan rata-rata perbulan sekitar Rp. 300.000,- s/d Rp. 500.000,-. Nilai pendapatan di bawah ketentuan gaji UMR daerah yang jumlahnya mencapai Rp. 660.000,- perbulan. Sebaliknya, beberapa negara yang memiliki potensi dan sumberdaya kelautan lebih sedikit seperti negara Thailand memiliki pembangunan sektor perikanan yang maju dan cukup kokoh dibandingkan Indonesia, sehingga nelayan di sana kehidupanya relatif lebih makmur (Gautama, 2003: 165).
Terhadap laut, Indonesia tidak hanya memiliki kebanggaan dari aspek territorial- geografis. Sejarah kejayaan Indonesia di masa lalu sebagai negara maritim di dunia merupakan entitas kedaulatan sebuah negara yang cukup disegani dan diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. Kemasyhuran Majapahit dan Sriwijaya sebagai negara maritim telah membuktikan hal itu. Kapal-kapal niaga dan ekspedisi kedua kerajaan besar di Nusantara ini banyak disebutkan dalam literatur sangat berperan penting dalam konstalasi dunia, baik dalam perdagangan maupun kebudayaan. Maka disinilah arti pentingnya meletakan laut sebagai bagian dari sistem pertahanan negara di samping bagian integral dari sistem pertahanan pangan rakyat. Dengan demikian kewajiban kita sebagai warga negara terhadap laut yaitu melakukan penjagaan dan melestarikan seluruh aset sumberdaya kelautan yang kita miliki.
Selain karena faktor letak geografis di persimpangan jalur transportasi dunia yang strategis, bahwa kemasyhuran kedaulatan laut Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang di masa lalu. Pertama, adalah peranan kerjasama dalam perdagangan antar pulau yang berjalan secara dinamis. Ditilik dari perspektif ekonomi, hal ini berarti para pendahulu kita telah mampu menciptakan mekanisme pasar dalam skala lintas etnis dan budaya melalui kontak-kontak bisnis yang berlangsung di kota-kota niaga pantai di sepanjang jalur perdagangan Nusantara. Oleh karena itu, patut diduga bahwa budaya kosmopolitan yang berkembang di Nusantara terutama di kawasan kota-kota pesisir merupakan dampak positif dari kerjasama ekonomi antar pulau tersebut.
Kedua, bersanding dengan lancarnya kegiatan perdagangan antar pulau-pulau di sepanjang jalur navigasi perairan laut Nusantara --dimulai dari arah barat yaitu Bandar Samudera hingga ke arah timur, Bandar Bima—terjalin pula kontak budaya dan misi penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pelancong. Para juru dakwah awal yang memasuki wilayah Melayu-Nusantara adalah berasal dari daratan Arabia, Persia, Gujarat dan Indocina. Mereka berkeliling dari satu bandar niaga ke bandar niaga lainnya. Mencapai pendaratan dari satu pulau ke pulau lainnya. Sehingga masyarakat setempat meyebut mereka sebagai da’i kelililing atau kiai lelono. Aktivitas da’i keliling ini disamping menekuni profesi sebagai pedagang pelancong mereka juga aktif berdawah agama kepada penduduk di sekitar bandar niaga yang kebetulan sedang disinggahinya. Sejarah mencatat bahwa nama komunitas “kauman” yang biasanya terdapat di kota-kota niaga pesisiran pada awalnya muncul karena dilatarbelakangi oleh intensitas dakwah Islam yang dilakukan oleh para saudagar yang sekaligus berperan sebagai kiai lelono tadi.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah terbentuk kantong-kantong masyarakat Islam atau social grouping yang disebut komunitas kauman tadi, kemudian mulai didirikan pusat-pusat studi keislaman yaitu pesantren. Sebut misalnya pesantren Sunan Bonang yang berada di Tuban, pesantren Sunan Giri yang berada di Gresik, pesantren Sunan Ampel yang berada di kawasan Ampel Denta kota Surabaya, dll. Umumnya pusat-pusat studi dan peradaban Islam di masa itu terletak tidak jauh dari kawasan bandar niaga yang ramai dengan semarak aktivitas perdagangan.
Setelah pusat-pusat studi Islam ini mengalami kemapanan di daerahnya masing-masing dan terus sertai mobilitas para juru dakwah yang terus berlanjut dan membentuk semacam koneksi jaringan intelektuan (ulama’) Nusantara (Azra, 2002: 63-89). Maka dari latar historis ini dapat diketahui bahwa perkembangan Islam Nusantara (baca; Indonesia) tidak terlepas dari kawalan budaya niaga yang bercorak kosmopolit, terbuka dan penuh toleransi dengan budaya serta adat istiadat lokal setempat. Para juru dakwah yang sudah membentuk jaringan ulama ini selalu memperkenalkan wajah Islam kepada masyarakat Nusantara melalui ruang-ruang dialog, forum pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya, yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi. Strategi akulturasi budaya merupakan pilihan yang dianggap bijak untuk mendialogkan Islam dengan khazanah dan tradisi lokal yang telah hidup berabad-abad di tengah-tengah masyarakat, sehingga kehadiran misi Islam --rahmatan lil’alamin-- turut mewarnai dengan nilai-nilai profetis-transformatif yang diembannya supaya lebih mudah diterima dan cepat membumi di bumi Nusantara.
Ketiga, dengan semakin lancarnya kontak-kontak perdagangan dan kebudayaan di atas maka peranan alat komunikasi yang dalam hal ini bahasa Melayu sebagai lingua franca kian mendominasi dalam percaturan ekonomi dan kebudayaan antar daerah. Dengan demikian, secara teori dapat digambarkan, secara perlahan-lahan dengan peranan bahasa Melayu (baca; plus Arab pegon) sudah mulai membentukan konstruk kebudayaan besar yaitu budaya khas Nusantara, yang mana unsur-unsurnya dirangkai dari pelbagai budaya lokal di masing-masing daerah. Lebih jauh, sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia modern dapat dilacak dalam konteks dan latar historis ini. Maka sangat bisa diterima secara nalar kalau pada peristiwa bersejarah, tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu diterima para perwakilan pemuda se-Tanah Air dalam Kongkres Pemuda pertama sebagai bahasa persatuan yang kembali diikrarkan menjadi Bahasa Indonesia.
Namun sayangnya, setelah kedatangan bangsa-bangsa imperalis dan kolonialis Barat kedigdayaan maritim Nusantara yang telah bertahan berabad-abad lamanya mengalami kemandegkan total, kemudian terputus akibat politik devide et impera sang penjajah. Kedatangan orang-orang kulit putih ini hanya ingin menguras kekayaan alam Indonesia dan penduduk pribumi, sedangkan hubungan kerjasama perdagangan yang dijalin dengan para penguasa lokal hanyalah sebuah kedok belaka (Alwi, 2005). Dampak kekejaman dan keserakahan penjajah kolonial terhadap bangsa kita mengakibatkan penderitaan panjang hingga membekaskan luka sejarah yang amat dalam.
Bertolak dari latar sejarah kejayaan maritim tempo dulu, di sini dapat ditegaskan bahwa kalau bangsa ini mau memperkuat integrasi nasional sekaligus ketaguhan ekonomi bangsa maka titik pangkalnya adalah membangun kekuatan basis pertahanan dunia kemaritiman dengan serius.
Krisis Ekologi-Kelautan di Pantura
Dewasa ini, kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin tambah mengkhawatir-kan. Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) pencemaran air sungai dan laut, ekosistem terumbu karang dan pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya yang dapat berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi tanaman pantai yang dapat menahan laju gelombang pasang. Runyamnya lagi, banyak kawasan hutan bakau yang jadi gundul karena ulah para pemodal yang melakukan konversi lahan, apakah untuk kepentingan industri, property ataupun bisnis pariwisata yang sebenarnya menyalahi peraturan tata ruang kelautan daerah. Yang lebih aneh, perbuatan tersebut justru malah dibiarkan oleh penguasa setempat karena dianggap bisa menambah pemasukan bagi pihak-pihak yang memegang otoritas atau menaikan angka pendapatan asli daerah (PAD).
Paling tidak ada dua faktor penting yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Faktor yang pertama adalah, pesatnya pembangunan industri di daratan tepi dan lepas pantai. Pertumbuhan industri di daerah Pantura Jawa Timur di tengarahi sebagai pihak yang paling besar berkontribusi dalam pencemaran lingkungan kelautan. Untuk satu dekade terakhir ini kondisi lingkungan laut di kawasan pantai dari Surabaya hingga ke wilayah perbatasan sebelah barat Propinsi dampak kerusakannya sudah sangat terasa sekali karena berpengaruh langsung terhadap penurunan hasil tangkapan para nelayan, utamanya yang masih mengandalkan alat tangkap tradisional.
Perkembangan industri-manufaktur memang diakui telah mampu menjawab persoalan kesejahteraan dan kesenjangan sosial, tetapi buah akibatnya ternyata harus dibayar amat mahal karena berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan.
Akselerasi pertumbuhan industi di kawasan daratan dan pesisir Pantai Utara telah mengakibatkan gundulnya hutan mangrove disekitarnya. Ditambah pula pembangunan pelabuhan industri terpadu, dan tempat-tempat wisata tepi pantai di Kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban banyak mengahasilkan limbah buangan yang mengakibatkan, pendangkalan sungai, sendimen laut dan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang.
Sekedar ilustrasi, bahwa keberadaan tanaman hutan bakau berfungsi amat penting sebagai peredam gelombang pasang dan angin badai, pelindung abrasi, penahan lumpur dan perangkap sendimen agar tidak mudah lonsor digerus gelombang laut. Menipisnya jumlah tanaman hutan bakau akan berdampak pada rentannya kawasan pesisir pantai dari ancama bencana dari arah laut.
Seperti yang dilaporkan mingguan Tempo (Edisi: 6/05/2007), keseluruhan luas hutan bakau di Indonesia pada tahun 1982 tercatat 4,2 juta hektare. Akibat alih fungsi, empat tahun kemudian menyusut satu juta hektare menjadi 3,2 juta hektare. Dan pada tahun 2005, luasnya tinggal separuhnya. Kerusakan hutan bakau di daerah pemukiman nelayan juga akibat ditebangi untuk dijual kepada masyarakat atau dimanfaatkan sendiri untuk berbagai kebutuahn rumah tangga (Kusnadi, 2006:189).
Faktor lain yang juga merisaukan bagi usaha menjaga kelestarian ekosistem laut dan kawasan pesisir yaitu meningkatnya populasi penduduk yang semakin pesat. Sebagaimana kata pepatah, ”ada gula ada semut”. Di mana ada pundi-pundi uang dibangun maka di situ pula akan menarik datangnya banyak manusia. Terbukanya peluang dan kesempatan kerja yang ditawarkan oleh industri di kawasan pesisir menghadirkan tenaga kerja dari berbagai daerah, dan dari berbagai lapisan masyarakat dengan bermacam-macam kualifikasi. Di samping berdampak pada masalah krisis lingkungan kehadiran industri juga akan melahirkan problem mobilitas penduduk dan kelangkaan pekerjaan, terutama bagi penduduk yang miskin akses (Usman, 1998: 245).
Dengan semakin banyaknya pusat-pusat industri yang dibangun di area tepi laut maka secara otomatis akan diikuti dengan pertumbuhan penduduk yang begitu padat. Tingkat kepadatan itu menambah beban yang amat berat bagi lingkungan karena daya dukung sumberdaya alam yang ada sangat terbatas. Sumberdaya alam yang tersedia ternyata semakin tidak seimbang dengan lajunya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk. Lingkungan tidak pernah berhenti dieksplorasi dengan berbagai macam cara dan argumentasi.
Secara otomatis, dengan bertambahnya jumlah penduduk di kawasan pesisir pantai menuntut ketersediaan lahan yang cukup untuk kebutuhan papan dan aktivitas bisnis penunjang. Guna memenuhi kebutuhan tempat pemukiman tersebut dibuatlah kebijakan tentang konversi lahan. Pengadaan proyek konversi atau alih fungsi lahan berdampak pada pengerukan gunduk pasir, pengebrukan tambak atau rawa-rawa serta reklamasi pantai. Demikian juga dilakukan penebangan pohon-pohon bakau demi memenuhi kecukupan lahan untuk konversi. Akibatnya, setiap terjadi air laut pasang tidak hanya genangan rob dan abrasi yang mengganggu aktivitas rutin warga yang berdomisili di sebagian wilayah Pantura, akan tetapi secara ekonomis juga merugikan karena produktivitas pertumbuhan bibit nener (bandeng), windu dan kepiting cenderung menurun drastis.
Semakin bertambah padat area kawasan pemukiman penduduk pesisir juga berpotensi menghasilkan produksi sampah yang cukup besar. Selain kiriman limbah industri, sampah-sampah dari sektor rumah tangga dan industri rumahan di sekitar pantai umumnya banyak di buang ke sungai atau langsung ke laut. Laut, sepertinya berfungsi menjadi tong sampah raksasa yang sanggup menampung aneka macam rupa sampah dan racun seberapun banyaknya. Fenomena ini akan terus berlangsung selama belum ada kesadaran massif penduduk kawasan pantai untuk mengelola sampah secara benar sehingga tidak mengganggu lingkungan.
Selanjutnya, kontribusi yang cukup besar terhadap kerusakan ekosistem laut juga diakibatkan adanya aktivitas para nelayan sendiri. Modernisasi di sektor kelautan yang hanya dipahami sebatas peningkatan hasil tangkapan mendorong para nelayan secara leluasa dan sembrono mengoperasikan alat tangkap yang justru merusak eksistem laut. Seperti penggunaan pukat harimau atau mini trawl, pukat dogol, payang methek, bom ikan atau racun kimia potasium, dsb. Sejauh pengamatan penulis, terhadap kegiatan penangkapan yang over-eksploitasi atau overfishing belum ada upaya pencegahan yang serius dari pemerintah daerah setempat meskipun tindakan tersebut sangat mengancam ketersediaan sumberdaya perikanan dan kelangsungan hidup nelayan di masa depan.
Semua kerusakan biofisik-lingkungan laut di atas adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian alam dan daya dukung lingkungannya. Ilustrasi tabel di bawah adalah salah satu contoh penggunaan alat tangkap oleh nelayan modern maupun tradisional yang dapat mengancam kelestarian ekosistem laut dan sampai sekarang masih dioperasikan di wilayah perairan Gresik, Lamongan dan Tuban.
Kebanyakan nelayan yang beroperasi di wilayah laut Pantura Jawa Timur sudah menggunakan mesin untuk menggerakan laju perahu, bahkan bagi nelayan perahu kursin dan perahu ijon malah menambah mesin gardan untuk menarik pukat dan payang pethek-nya. Keduanya beroperasi di area tangkap berjarak 30 mil lebih dari bibir pantai. Bagi nelayan kursin atau kapal besar malahan kalau melaut bisa sampai memakan waktu seminggu lebih atau sebulan baru mendarat. Sedangkan kalau nelayan ijon hanya memerlukan waktu sekitar 12 – 14 jam dalam beroperasi setiap hari.
Bagi nelayan srool, jukung dan lolopik mereka pada umumnya melakukan operasi tangkap pada perairan berjarak kurang dari 30 mil dari lepas pantai. Untuk beroperasi melebihi jarak tempuh 30 mil sangat beresiko mengingat ukuran perahu mereka relatif kecil dan riskan kecelakaan apabila sewaktu-waktu datang gelombang besar.
Konflik Sumberdaya Laut Atau Titik Balik Blue Revolution
Pada periode tahun 1970-an, salah satu kebijakan politik pembangunan yang diusung oleh pemerintahan Orde Baru adalah melakukan modernisasi pembangunan di sektor pertanian dan kelautan, --meskipun masalah kemaritiman seakan-akan diabaikan karena kebijakan pemerintah lebih berorientasi dan berkiblat ke daratan. Namun pada dasarnya, paradigma yang dianut dalam doktrin pembangunan nasional tersebut sebetulnya adalah penerapan ideologi produktivitas sebagai ”pembenaran” terhadap eksploitasi sumberdaya alam yang ada.
Untuk sektor pertanian, diterapkan mega-proyek industrialisasi pertanian yang dikenal dengan istilah revolusi hijau (green revolution). Yaitu program intensifikasi dalam rangka peningkatan produk-produk pertanian. Sedangkan untuk sektor kelautan dikenal dengan istilah blue revolution atau revolusi biru. Bentuk konkret dari program revulusi biru adalah pengadaan motorisasi pada teknik penangkapkan ikan di laut yang diperlengkapi pula penggunaan jaring trawl atau pukat harimau. Hal ini berarti nelayan kebetulan punyak akses teknologi alat tangkap modern secara legal untuk melakukan eksplotasi sumberdaya perikanan secara penuh, tanpa peduli masalah batas ketersediaan sumberdaya perikanan dan keberlangsungan ekosistem laut terancam punah.
Namun, setelah berjalan hampir satu dasawarsa dampak kelangkaan sumberdaya perikanan yang diakibatkan oleh penggunaan trawl sangat dirasakan oleh para nelayan tradisional yang minim akses teknologi karena semakin susah mencari hasil tangkapan. Akibatnya, muncul kecemburuan sosial dan kerap berakhir konflik horisontal. Praktis pengoperasian trawl yang menyebabkan tangkap lebih (overfishing) pada tahun 1980 dilarang oleh pemerintah. Pada tahun 1980, untuk menghilangkan keresahan sosial di kalangan masyarakat nelayan akibat beroperasinya trawl dikeluarkanlah Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl atau pukat harimau.
Dengan alasan yang sama, untuk mengantisipasi masalah kelangkaan sumberdaya perikanan dan kelautan, Menteri Pertanian yang saat itu membawahi masalah kelautan mengeluarkan SK N0. 317/Kpts./Um/1975 yang isinya melarang pengoperasian penangkapan ikan di wilayah perairan laut Jawa Timur dengan menggunakan perahu motor berkekuatan lebih 35 PK dan alat tangkap purse seine yang panjangnya lebih dari 300 meter dan lebar 20 meter. Pelarangan ini dilakukan karena wilayah/teritorial yang ada dan potensi sumberdaya perikanan yang tersedia semakin langka (Kusnadi, 2006: 117). Kelangkaan sumberdaya perikanan sangat riskan memicu konflik sosial di kalangan masyarakat nelayan.
Kembali pada persoalan akar konflik sumberdaya perikanan; pertama, bahwa munculnya konflik di antara kelompok nelayan disebabkan oleh faktor kecemburuan sosial dan penurunan pendapatan hasil tangkapan (kelangkaan sumberdaya), sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kasus munculnya masalah kecemburuan sosial lebih disebabkan oleh perbedaan akses teknologi pealatan tangkap, yang dalam hal ini nelayan yang memiliki modal besar bisa secara mudah memilikinya dan sekaligus juga menguasai jaringan distribusi pasar.
Adapun faktor yang mengakibatkan penurunan hasil tangkapan yaitu kegiatan illegal fishing dan overfishing sebagai akibat dioperasikannya teknologi peralatan tangkap cukup besar, yang berimplikasi pada sempitnya fishing ground. Termasuk kasus penggundulan hutan bakau di kawasan tepi pantai yang sangat burfungsi untuk pengembangbiakan bibit-bibit ikan, nener, udang, kepiting dan binatang laut lainnya.
Faktor selanjutnya adalah, konflik sosial kelautan juga diakibatkan oleh ambiguitas pemikiran nelayan (lokal) yang mengklaim bahwa sumberdaya perikanan adalah bagian dari hak ulayat nelayan yang mendiami wilayah pesisir setempat (quasi private proverty). Padahal sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan sumberdaya milik umum (commons property recources) yang pemanfaatannya terbuka untuk siapapun atau open access property. Tetapi, berdasarkan pasal 33 UUD 1945, dan UU Pokok Perairan No. 6/1996, dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property). Atas dasar inilah diharapkan “intervensi” pemerintah dalam pengaturan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan dapat meredam konflik sosial di masyarakat.
Oleh karena itu, adanya perbedaan persepsi terkait penerapan konsep pemilikan dan penguasaan sumberdaya ini mendorong ambiguitas atau ketidakjelasan siapa yang berhak untuk mengelolanya. Hal ini selanjutnya mendorong berbagai stakeholder untuk mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini secara berlebihan, kalau tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, dan tidak ada insentif untuk melestarikannya, sehingga terjadi the tragedy of commons yang baru.
Dan yang terakhir adalah terkait faktor penegakan hukum yang lemah dan jauh dari rasa keadilan oleh masyarakat nelayan. Persaingan dalam memperebutkan hasil tangkapan seperti jenis ikan demersal dan udang laut (lobster) yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan pasar yang prospektif merupakan hal yang tak terelakan bagi masyarakat nelayan. Akibat perebutan daerah tangkapan serta keterbatasan teritorial distribusi spesies ikan komersial dan tidak dilaksanakannya aturan hukum yang berlaku dengan pengawasan yang ketat menyebabkan persaingan menjadi konflik yang cenderung destruktif. Kalau tidak ada ketegasan pihak yang berwenang dalam penegakan aturan main, maka sudah pasti akan berlaku motto ’only the fittes will survive’ dalam pertarungan memperebutkan area tangkap yang dianggap potensial.
Sampai sekarang ini konflik sosial terkait kelangkaan sumberdaya antara kelompok nelayan kursin dan kapal yang berasal dari Bulu atau dari daerah lain dengan nelayan tradisional yang umumnya berdomisi di wilayah Kecamatan Tambakboyo dan Jenu dan sekitarnya tetap berlansung. Walaupun konflik bersifat laten, namun intensitasnya belum juga menurun. Hal ini dipicu oleh ulah para nelayan kapal dan kursin yang selalu usil untuk melakukan aktivitas tangkapan (istilah lokal; nawur) di areal tendak atau anggas (sejenis rumpon ikan buatan), bahkan mereka juga tidak segan-segan untuk merusak rumpon tersebut. Bagi nelayan tradisional, tendak dan anggas merupakan tempat mereka menggantungkan nasib untuk mendapatkan hasil tangkapan, karena di situlah tempat yang digadang-gadang bermukimnya banyak ikan. Mengingat di beberapa tempat yang sebelumnya menjadi kawasan teritorial distribusi spesies ikan kian terbatas jumlahnya setelah rusaknya ekologi laut dan ekosistem terumbu karang akibat over eksploitasi dan kiriman limbah industri yang berasal dari daratan di sepanjang perairan pantai Tuban.
Penutup
Merupakan serangkaian penutup, di sini penulis mencoba menawarkan solusi untuk menanggulangi terjadinya proses kerusakan ekosistem kelautan di sepanjang kawasan perairan Pantai Utara Jawa Timur yang akhir-akhir ini gejalanya cenderung tambah parah. Dalam hal ini, maka sebagai langkah awal yang perlu dikerjakan adalah, Pemerintah Daerah hendaknya dapat bekerja lebih serius untuk membuat regulasi yang mengatur tata ruang kelautan dan lingkungan pesisir. Di mana konteks pembuatannya lebih di dasarkan pada kepentingan yang pro-nelayan dan demi menjaga kelangsungan sumberdaya laut dan pesisir. Dan yang perlu dihindari adalah adanya kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah (Perda) berdasarkan kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sebab, pengaturan demikian, telah dan akan melahirkan “ketidakpastian” hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir.
Langkah kedua merupakan kelanjutan dari yang pertama, yaitu penegakan aturan main terkait eksplorasi dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Para penegak hukum harus mengambil tindakan tegas bagi pihak-pihak yang melanggar hukum terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan. Lemahnya law infocement akan mudah menyulut konflik sosial terbuka yang cenderung anakhis dan destruktif. Dan tentu saja onkos yang harus ditanggung untuk resolusi cukup mahal di samping juga butuh waktu yang relatif lama untuk mengembalikan pada kondisi semula (integratif).
Ketiga, peningkatan program konservasi lingkungan pesisir dan kelautan yang berorientasi produktif dan bernilai manfaat bagi masyarakat pesisir. Misalnya untuk menanggulangi kerusakan biota laut diupayakan program pembuatan rumpon laut. Keberadaan rumpon buatan berfungsi layaknya terumbu karang yang bisa berfungsi sebagai persemaian biota laut dan tempat yang nyaman bagi ikan-ikan yang bertelor. Sedangkan untuk penghijaun kawasan pesisir sekaligus untuk pemberdayaan ekonomi perlu diadakan reboisasi kawasan pesisir dengan penanaman hutan mangrove yang bernilai ekonomis. Sebagaimana dilaporkan koran Tempo (6/05/2007) terdapat tanaman mangrove jenis Brugueragym norrhiza yang memiliki buah seperti kacang panjang dan bisa dibuat sebagai bahan baku dodol. Ada pula jenis tanaman bakau yang buahnya bisa dibikin bahan baku donat, lumpia, onde-onde, kolak, puding, sirup dan rujak pedada. Beberapa jenis mangrove seperti Lumnitzera spp dan Pemphis acidula juga merupakan jenis tanaman bakau yang bagus untuk dibuat bonsai serta memiliki nilai ekonomi tinggi. Harga tanaman hias ini bisa mencapai 2 juta perbuah.
Keempat, revitalisasi kearifan lokal (local wisdom) sebagai gerakan budaya sadar lingkungan. Di dalam maind set-nya sudah barang tentu terpola structure of knowledge, yang mengilhami bagaimanan masyarakat pesisir dapat mempertahankan survival-nya. Apakah hal itu berasal dari pengalaman hidup ketika bersentuhan dengan alam sehari-hari, keyakinan agama yang dianut, serta norma-norma sosial maupun adat-istiadat yang diwariskan, yang kemudian jamak disebut kearifan tradisonal, ketika demikian itu tetap dilestarikan. Walhasil, agenda keempat ini terkait erat dengan latar belakang sosial-keagamaan dan budaya masyarakat pesisir.
Masyarakat pesisir dikenal sebagai penganut Islam yang taat dan militan. Pada domain ini, selayaknya nilai-nilai agama (Islam) menjadi inspirasi moral-kesadaran terhadap lingkungan. Meminjam bahasa Ronal Higgins, sebagai new ethic of conciousness, --yang harus ditumbuhkan melalui kehidupan spiritual seseorang. Maka di sinilah makna pentingnya peranan para tokoh agama (ustadz, guru dan kiai) mendakwahkan nilai-nilai profetik-transformatif agama menjadi gerakan nyata terhadap kelestarian lingkungan. Bukan sekedar menjadikan agama sebatas pada masalah peribadatan (mahdlah) atau liturgi per se. Tapi misi dan peranan agama harus sanggup menjawab persoalan dan tantangan masyarakat dan bangsa secara nyata.
Selanjutnya, dalam ikhiyar menjaga kelestarian lingkuangan kelautan maka agenda revitalisasi kearifan tradisional (pesisir), dalam konteks konservasi berwawasan budaya (adat), hendaknya mengembalikan entitas komunitas pesisir sebagai masyarakat yang jatidiri sesungguhnya adalah masyarakat ekologis. Bahwa seluruh jiwa dan raga mereka tidak bisa dipisahkan dengan laut. Menurut Keraf (2005: 280-281) dalam hal ini ada tiga hal yang perlu dijadikan tinjauan. Pertama, cara pandang masyarakat pesisir tentang dirinya, alam dan hubungan antara manusia dan alam (laut). Kedua, kekhasan pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat pesisir (adat), sekaligus menentukan pola hidup dan perilaku masyarakat pesisir terhadap alam. Dan ketiga, perlindungan hak-hak masyarakat pesisir karena dengan melindungi hak-hak mereka secara otomatis lingkungan sekitarnya juga ikut terlindungi.
Akhir kata penulis tegaskan, bahwa problem krisis ekologi lingkungan bukan semata-mata persoalan teknis parsial, melainkan persoalan holistik dan kompleks yang menyangkut aspek budaya, sosial, moral dan politik. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentarnya ya, nuhun ...