KRISIS EKOLOGI LAUT DAN LINGKUNGAN PESISIR

Senin, 20 Juni 2011

sumber: http://lakpesdamtuban.blogspot.com/search/label/Ecology

Pengantar

Doktrin pembangunanisme ala Orde Baru dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi sebagai panglima ujung-ujungnya harus dibayar mahal oleh segenap anak bangsa. Proyek-proyek pembangunan yang hanya mengejar target pertumbuhan ekonomi dan bersifat fisik ternyata berdampak pada krisis moneter yang berlanjut pada krisis politik sehingga memaksa sang penguasa rezim harus lengser keprabon.

Tanpa menafikan prestasi ‘keberhasilan’ dalam mengelola stabilitas politik dan ekonomi yang pernah diraih selama berkuasa, toh pada akhir pemerintahannya rezim kleptokratik ini mewariskan krisis multidimensi yang amat parah. Tidak hanya krisis moneter dan ekonomi yang hingga sekarang dampaknya masih kita rasakan, namun yang lebih parah lagi adalah, bencana krisis moral dan ekologi-lingkungan yang sungguh memprihatinkan.

Sebagai dampak krisis moral, kini korupsi semakin merajalela dan membudaya di seluruh strata pemerintahan. Bahkan sampai menular ke desa-desa. Sementara dampak yang muncul akibat krisis ekologi-lingkungan seakan-akan hampir setiap saat Indonesia tidak pernah sepi kedatangan bencana alam dan epedemi penyakit. Segala resiko di atas tidak lain adalah buah dari akibat yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam mengelola bangsa ini. Keserakahan segelinter elit yang memiliki otoritas dan power dalam menentukan kebijakan publik, tetapi tidak amanh. Tidak semestinya rakyat dijadikan obyek pembangunan dan sumberdaya alam dieksplotasi tanpa batas (boundless). Apabila kecenderungan menyimpang semacam ini terus dibiarkan, bukan mustahil kehidupan seluruh penduduk yang mendiami negeri ini kian bertambah sengsara. Kehidupan anak dan cucu kita menjadi sangat menderita karena alam tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Indonesia, kini sungguh menjadi sebuah negeri penuh ironi dan kemasghulan dalam hidup berbangsa di abad modern ini. Katanya, hidup di zaman yang semakin modern dan sarwa dimanjakan teknologi namun terasa seperti ‘teralienasi’ dari lingkungan sosial maupun lingkungan ekologis yang sehat. Di mana semestinya kita menjadi saling tergantung untuk menjaga kelangsungan spesies kita di masa depan.


Namun, sejauh ini tak banyak orang yang mau menyadari bahwa baik krisis sosial maupun ekologis membawa dampak dan konsekuensi yang besar bagi keberlangsungan kehidupan spesies manusia di bumi. Di mana-mana, terutama di kawasan perkotaan tumbuh menjamur rumah-rumah kaca dan gedung bertingkat pencakar langit meski ada kekhawatiran terhadap pemanasan global. Kasus pembalakan liar (illegal loging) terus terjadi tanpa peduli datangnya tanah longsor dan banjir bandang. Proyek-proyek reklamasi pantai terus digenjot tanpa mempedulikan bahaya rob dan abrasi pantai. Konversi lahan subur pertanian kian meningkat tanpa mau mengerti betapa kritisnya sistem ketahanan pangan kita yang rapuh.

Pendek kata, melihat fenomena musibah bencana alam yang datang bertubi-tubi di negeri kita maka sebagai penyebab bencana tersebut tidak lain karena memang sikap kita yang gemar memusuhi alam (binatang dan makhluk hidup lainnya). Yakni tidak mau menjaga sebaik mungkin lingkungan sekitar kita. Padahal, pada satu sisi kita ini hidup sangat tergantung kepada alam, akan tetapi di sisi yang lain, kita justru tidak mau memperlakukan alam sebagai subyek. Lingkungan sekitar sebenarnya merupakan satu entitas kehidupan yang sama seperti kita, memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagaimana yang dijaminkan Tuhan, Sang Maha Pencipta. Dengan demikian, jika kita termasuk umat beragama maka memusihi alam sama halnya mengingkari adanya nikmat Tuhan, istilah agamanya yaitu kufur bin ni’mah.


Indonesia: Archipelagic State

Indonesia disebut archipelagic state atau negara maritim. Karena sebagian besar luas wilayahnya, yakni dua pertiganya terdiri dari lautan, atau sebuah negara yang terdiri dari pulau-pulau yang dikelilingi lautan. Menurut catatan Walhi tahun 2006, wilayah kedaulatan Indoensia yang berupa daratan meliputi pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya sekitar 17.500 pulau yang terbentang dan tersebar mulai dari Sabang hingga Merauke. Wilayah laut Indonesia merupakan terluas di dunia, dengan luas totalnya 5,9 juta km persegi. Kita juga memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, yaitu sekitar 81.000 km. Dari keseluruhan luas wilayah terotori Indonesia yang sebesar 1.923.715 km3, sekitar 75 persen dari total wilayahnya adalah lautan yang amat kaya dengan sumberdaya alam (Kompas: 18/09/2004).


Kekayaan sumberdaya kelautan dan pesisir Indoensia tidak kalah besar dengan kekayaan di daratan, selain meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati (bahan mineral dan tambang) yang terkandung di dalamnya.
Dari aspek pertahanan, wilayah pesisir memiliki arti strategis untuk menangkal serangan musuh-musuh yang datang dari luar teritorial. Di samping itu, kawasan pesisir juga amat strategis untuk menunjang sistem ketahanan pangan nasional karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Seperti untuk jalur transportasi angkutan barang dan pariwisata.

Namun sayangnya, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu dalam pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah Indonesia yang sektoral dan proyek oriented serta bias daratan, akhirnya menjadikan laut tak ubahnya sebagai kolam sampah raksasa. Tempat muara pembuangan sampah-sampah penduduk dan limbah industri yang berasal dari kegiatan di wilayah daratan.

Dari aspek sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar (pemodal swasta) dan pengusaha asing. Sedangkan kelompok nelayan sebagai jumlah terbesar (sekitar 3,5 KK) merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia. Sutawi dan Hermawan (2004: 29) memperkirakan ada 70 persen populasi penduduk nelayan Indonesia yang hidup dalam kondisi miskin. Jika diambil rata-rata tiap anggota keluarga nelayan itu 5 orang, berarti ada 17,5 juta penduduk Indonesia yang secara langsung menggantungkan hidup mereka dari laut.

Sungguh merupakan suatu ironi, negara Indonesia yang disebut negara maritim terbesar di dunia karena memiliki dua pertiga wilayah berupa lautan dengan panjang garis pantai 81.000 km, dengan sumberdaya kelautan yang melimpah ruah akan tetapi justru sebagian besar masyarakat nelayan kita justru hidup dalam gelimang kemiskinan. Sekedar contoh, kondisi ekonomi nelayan di Kabupaten Tuban, pengahasilan rumah tangga nelayan tradisonal hanya memperoleh pendapatan rata-rata perbulan sekitar Rp. 300.000,- s/d Rp. 500.000,-. Nilai pendapatan di bawah ketentuan gaji UMR daerah yang jumlahnya mencapai Rp. 660.000,- perbulan. Sebaliknya, beberapa negara yang memiliki potensi dan sumberdaya kelautan lebih sedikit seperti negara Thailand memiliki pembangunan sektor perikanan yang maju dan cukup kokoh dibandingkan Indonesia, sehingga nelayan di sana kehidupanya relatif lebih makmur (Gautama, 2003: 165).


Terhadap laut, Indonesia tidak hanya memiliki kebanggaan dari aspek territorial- geografis. Sejarah kejayaan Indonesia di masa lalu sebagai negara maritim di dunia merupakan entitas kedaulatan sebuah negara yang cukup disegani dan diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. Kemasyhuran Majapahit dan Sriwijaya sebagai negara maritim telah membuktikan hal itu. Kapal-kapal niaga dan ekspedisi kedua kerajaan besar di Nusantara ini banyak disebutkan dalam literatur sangat berperan penting dalam konstalasi dunia, baik dalam perdagangan maupun kebudayaan. Maka disinilah arti pentingnya meletakan laut sebagai bagian dari sistem pertahanan negara di samping bagian integral dari sistem pertahanan pangan rakyat. Dengan demikian kewajiban kita sebagai warga negara terhadap laut yaitu melakukan penjagaan dan melestarikan seluruh aset sumberdaya kelautan yang kita miliki.

Selain karena faktor letak geografis di persimpangan jalur transportasi dunia yang strategis, bahwa kemasyhuran kedaulatan laut Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang di masa lalu. Pertama, adalah peranan kerjasama dalam perdagangan antar pulau yang berjalan secara dinamis. Ditilik dari perspektif ekonomi, hal ini berarti para pendahulu kita telah mampu menciptakan mekanisme pasar dalam skala lintas etnis dan budaya melalui kontak-kontak bisnis yang berlangsung di kota-kota niaga pantai di sepanjang jalur perdagangan Nusantara. Oleh karena itu, patut diduga bahwa budaya kosmopolitan yang berkembang di Nusantara terutama di kawasan kota-kota pesisir merupakan dampak positif dari kerjasama ekonomi antar pulau tersebut.

Kedua, bersanding dengan lancarnya kegiatan perdagangan antar pulau-pulau di sepanjang jalur navigasi perairan laut Nusantara --dimulai dari arah barat yaitu Bandar Samudera hingga ke arah timur, Bandar Bima—terjalin pula kontak budaya dan misi penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pelancong. Para juru dakwah awal yang memasuki wilayah Melayu-Nusantara adalah berasal dari daratan Arabia, Persia, Gujarat dan Indocina. Mereka berkeliling dari satu bandar niaga ke bandar niaga lainnya. Mencapai pendaratan dari satu pulau ke pulau lainnya. Sehingga masyarakat setempat meyebut mereka sebagai da’i kelililing atau kiai lelono. Aktivitas da’i keliling ini disamping menekuni profesi sebagai pedagang pelancong mereka juga aktif berdawah agama kepada penduduk di sekitar bandar niaga yang kebetulan sedang disinggahinya. Sejarah mencatat bahwa nama komunitas “kauman” yang biasanya terdapat di kota-kota niaga pesisiran pada awalnya muncul karena dilatarbelakangi oleh intensitas dakwah Islam yang dilakukan oleh para saudagar yang sekaligus berperan sebagai kiai lelono tadi.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah terbentuk kantong-kantong masyarakat Islam atau social grouping yang disebut komunitas kauman tadi, kemudian mulai didirikan pusat-pusat studi keislaman yaitu pesantren. Sebut misalnya pesantren Sunan Bonang yang berada di Tuban, pesantren Sunan Giri yang berada di Gresik, pesantren Sunan Ampel yang berada di kawasan Ampel Denta kota Surabaya, dll. Umumnya pusat-pusat studi dan peradaban Islam di masa itu terletak tidak jauh dari kawasan bandar niaga yang ramai dengan semarak aktivitas perdagangan.

Setelah pusat-pusat studi Islam ini mengalami kemapanan di daerahnya masing-masing dan terus sertai mobilitas para juru dakwah yang terus berlanjut dan membentuk semacam koneksi jaringan intelektuan (ulama’) Nusantara (Azra, 2002: 63-89). Maka dari latar historis ini dapat diketahui bahwa perkembangan Islam Nusantara (baca; Indonesia) tidak terlepas dari kawalan budaya niaga yang bercorak kosmopolit, terbuka dan penuh toleransi dengan budaya serta adat istiadat lokal setempat. Para juru dakwah yang sudah membentuk jaringan ulama ini selalu memperkenalkan wajah Islam kepada masyarakat Nusantara melalui ruang-ruang dialog, forum pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya, yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi. Strategi akulturasi budaya merupakan pilihan yang dianggap bijak untuk mendialogkan Islam dengan khazanah dan tradisi lokal yang telah hidup berabad-abad di tengah-tengah masyarakat, sehingga kehadiran misi Islam --rahmatan lil’alamin-- turut mewarnai dengan nilai-nilai profetis-transformatif yang diembannya supaya lebih mudah diterima dan cepat membumi di bumi Nusantara.


Ketiga, dengan semakin lancarnya kontak-kontak perdagangan dan kebudayaan di atas maka peranan alat komunikasi yang dalam hal ini bahasa Melayu sebagai lingua franca kian mendominasi dalam percaturan ekonomi dan kebudayaan antar daerah. Dengan demikian, secara teori dapat digambarkan, secara perlahan-lahan dengan peranan bahasa Melayu (baca; plus Arab pegon) sudah mulai membentukan konstruk kebudayaan besar yaitu budaya khas Nusantara, yang mana unsur-unsurnya dirangkai dari pelbagai budaya lokal di masing-masing daerah. Lebih jauh, sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia modern dapat dilacak dalam konteks dan latar historis ini. Maka sangat bisa diterima secara nalar kalau pada peristiwa bersejarah, tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu diterima para perwakilan pemuda se-Tanah Air dalam Kongkres Pemuda pertama sebagai bahasa persatuan yang kembali diikrarkan menjadi Bahasa Indonesia.

Namun sayangnya, setelah kedatangan bangsa-bangsa imperalis dan kolonialis Barat kedigdayaan maritim Nusantara yang telah bertahan berabad-abad lamanya mengalami kemandegkan total, kemudian terputus akibat politik devide et impera sang penjajah. Kedatangan orang-orang kulit putih ini hanya ingin menguras kekayaan alam Indonesia dan penduduk pribumi, sedangkan hubungan kerjasama perdagangan yang dijalin dengan para penguasa lokal hanyalah sebuah kedok belaka (Alwi, 2005). Dampak kekejaman dan keserakahan penjajah kolonial terhadap bangsa kita mengakibatkan penderitaan panjang hingga membekaskan luka sejarah yang amat dalam.

Bertolak dari latar sejarah kejayaan maritim tempo dulu, di sini dapat ditegaskan bahwa kalau bangsa ini mau memperkuat integrasi nasional sekaligus ketaguhan ekonomi bangsa maka titik pangkalnya adalah membangun kekuatan basis pertahanan dunia kemaritiman dengan serius.

Krisis Ekologi-Kelautan di Pantura

Dewasa ini, kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin tambah mengkhawatir-kan. Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) pencemaran air sungai dan laut, ekosistem terumbu karang dan pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya yang dapat berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi tanaman pantai yang dapat menahan laju gelombang pasang. Runyamnya lagi, banyak kawasan hutan bakau yang jadi gundul karena ulah para pemodal yang melakukan konversi lahan, apakah untuk kepentingan industri, property ataupun bisnis pariwisata yang sebenarnya menyalahi peraturan tata ruang kelautan daerah. Yang lebih aneh, perbuatan tersebut justru malah dibiarkan oleh penguasa setempat karena dianggap bisa menambah pemasukan bagi pihak-pihak yang memegang otoritas atau menaikan angka pendapatan asli daerah (PAD).

Paling tidak ada dua faktor penting yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Faktor yang pertama adalah, pesatnya pembangunan industri di daratan tepi dan lepas pantai. Pertumbuhan industri di daerah Pantura Jawa Timur di tengarahi sebagai pihak yang paling besar berkontribusi dalam pencemaran lingkungan kelautan. Untuk satu dekade terakhir ini kondisi lingkungan laut di kawasan pantai dari Surabaya hingga ke wilayah perbatasan sebelah barat Propinsi dampak kerusakannya sudah sangat terasa sekali karena berpengaruh langsung terhadap penurunan hasil tangkapan para nelayan, utamanya yang masih mengandalkan alat tangkap tradisional.


Perkembangan industri-manufaktur memang diakui telah mampu menjawab persoalan kesejahteraan dan kesenjangan sosial, tetapi buah akibatnya ternyata harus dibayar amat mahal karena berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan.
Akselerasi pertumbuhan industi di kawasan daratan dan pesisir Pantai Utara telah mengakibatkan gundulnya hutan mangrove disekitarnya. Ditambah pula pembangunan pelabuhan industri terpadu, dan tempat-tempat wisata tepi pantai di Kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban banyak mengahasilkan limbah buangan yang mengakibatkan, pendangkalan sungai, sendimen laut dan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang.

Sekedar ilustrasi, bahwa keberadaan tanaman hutan bakau berfungsi amat penting sebagai peredam gelombang pasang dan angin badai, pelindung abrasi, penahan lumpur dan perangkap sendimen agar tidak mudah lonsor digerus gelombang laut. Menipisnya jumlah tanaman hutan bakau akan berdampak pada rentannya kawasan pesisir pantai dari ancama bencana dari arah laut.

Seperti yang dilaporkan mingguan Tempo (Edisi: 6/05/2007), keseluruhan luas hutan bakau di Indonesia pada tahun 1982 tercatat 4,2 juta hektare. Akibat alih fungsi, empat tahun kemudian menyusut satu juta hektare menjadi 3,2 juta hektare. Dan pada tahun 2005, luasnya tinggal separuhnya. Kerusakan hutan bakau di daerah pemukiman nelayan juga akibat ditebangi untuk dijual kepada masyarakat atau dimanfaatkan sendiri untuk berbagai kebutuahn rumah tangga (Kusnadi, 2006:189).


Faktor lain yang juga merisaukan bagi usaha menjaga kelestarian ekosistem laut dan kawasan pesisir yaitu meningkatnya populasi penduduk yang semakin pesat. Sebagaimana kata pepatah, ”ada gula ada semut”. Di mana ada pundi-pundi uang dibangun maka di situ pula akan menarik datangnya banyak manusia. Terbukanya peluang dan kesempatan kerja yang ditawarkan oleh industri di kawasan pesisir menghadirkan tenaga kerja dari berbagai daerah, dan dari berbagai lapisan masyarakat dengan bermacam-macam kualifikasi. Di samping berdampak pada masalah krisis lingkungan kehadiran industri juga akan melahirkan problem mobilitas penduduk dan kelangkaan pekerjaan, terutama bagi penduduk yang miskin akses (Usman, 1998: 245).

Dengan semakin banyaknya pusat-pusat industri yang dibangun di area tepi laut maka secara otomatis akan diikuti dengan pertumbuhan penduduk yang begitu padat. Tingkat kepadatan itu menambah beban yang amat berat bagi lingkungan karena daya dukung sumberdaya alam yang ada sangat terbatas. Sumberdaya alam yang tersedia ternyata semakin tidak seimbang dengan lajunya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk. Lingkungan tidak pernah berhenti dieksplorasi dengan berbagai macam cara dan argumentasi.

Secara otomatis, dengan bertambahnya jumlah penduduk di kawasan pesisir pantai menuntut ketersediaan lahan yang cukup untuk kebutuhan papan dan aktivitas bisnis penunjang. Guna memenuhi kebutuhan tempat pemukiman tersebut dibuatlah kebijakan tentang konversi lahan. Pengadaan proyek konversi atau alih fungsi lahan berdampak pada pengerukan gunduk pasir, pengebrukan tambak atau rawa-rawa serta reklamasi pantai. Demikian juga dilakukan penebangan pohon-pohon bakau demi memenuhi kecukupan lahan untuk konversi. Akibatnya, setiap terjadi air laut pasang tidak hanya genangan rob dan abrasi yang mengganggu aktivitas rutin warga yang berdomisili di sebagian wilayah Pantura, akan tetapi secara ekonomis juga merugikan karena produktivitas pertumbuhan bibit nener (bandeng), windu dan kepiting cenderung menurun drastis.

Semakin bertambah padat area kawasan pemukiman penduduk pesisir juga berpotensi menghasilkan produksi sampah yang cukup besar. Selain kiriman limbah industri, sampah-sampah dari sektor rumah tangga dan industri rumahan di sekitar pantai umumnya banyak di buang ke sungai atau langsung ke laut. Laut, sepertinya berfungsi menjadi tong sampah raksasa yang sanggup menampung aneka macam rupa sampah dan racun seberapun banyaknya. Fenomena ini akan terus berlangsung selama belum ada kesadaran massif penduduk kawasan pantai untuk mengelola sampah secara benar sehingga tidak mengganggu lingkungan.


Selanjutnya, kontribusi yang cukup besar terhadap kerusakan ekosistem laut juga diakibatkan adanya aktivitas para nelayan sendiri. Modernisasi di sektor kelautan yang hanya dipahami sebatas peningkatan hasil tangkapan mendorong para nelayan secara leluasa dan sembrono mengoperasikan alat tangkap yang justru merusak eksistem laut. Seperti penggunaan pukat harimau atau mini trawl, pukat dogol, payang methek, bom ikan atau racun kimia potasium, dsb. Sejauh pengamatan penulis, terhadap kegiatan penangkapan yang over-eksploitasi atau overfishing belum ada upaya pencegahan yang serius dari pemerintah daerah setempat meskipun tindakan tersebut sangat mengancam ketersediaan sumberdaya perikanan dan kelangsungan hidup nelayan di masa depan.

Semua kerusakan biofisik-lingkungan laut di atas adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian alam dan daya dukung lingkungannya. Ilustrasi tabel di bawah adalah salah satu contoh penggunaan alat tangkap oleh nelayan modern maupun tradisional yang dapat mengancam kelestarian ekosistem laut dan sampai sekarang masih dioperasikan di wilayah perairan Gresik, Lamongan dan Tuban.

Kebanyakan nelayan yang beroperasi di wilayah laut Pantura Jawa Timur sudah menggunakan mesin untuk menggerakan laju perahu, bahkan bagi nelayan perahu kursin dan perahu ijon malah menambah mesin gardan untuk menarik pukat dan payang pethek-nya. Keduanya beroperasi di area tangkap berjarak 30 mil lebih dari bibir pantai. Bagi nelayan kursin atau kapal besar malahan kalau melaut bisa sampai memakan waktu seminggu lebih atau sebulan baru mendarat. Sedangkan kalau nelayan ijon hanya memerlukan waktu sekitar 12 – 14 jam dalam beroperasi setiap hari.

Bagi nelayan srool, jukung dan lolopik mereka pada umumnya melakukan operasi tangkap pada perairan berjarak kurang dari 30 mil dari lepas pantai. Untuk beroperasi melebihi jarak tempuh 30 mil sangat beresiko mengingat ukuran perahu mereka relatif kecil dan riskan kecelakaan apabila sewaktu-waktu datang gelombang besar.



Konflik Sumberdaya Laut Atau Titik Balik Blue Revolution

Pada periode tahun 1970-an, salah satu kebijakan politik pembangunan yang diusung oleh pemerintahan Orde Baru adalah melakukan modernisasi pembangunan di sektor pertanian dan kelautan, --meskipun masalah kemaritiman seakan-akan diabaikan karena kebijakan pemerintah lebih berorientasi dan berkiblat ke daratan. Namun pada dasarnya, paradigma yang dianut dalam doktrin pembangunan nasional tersebut sebetulnya adalah penerapan ideologi produktivitas sebagai ”pembenaran” terhadap eksploitasi sumberdaya alam yang ada.


Untuk sektor pertanian, diterapkan mega-proyek industrialisasi pertanian yang dikenal dengan istilah revolusi hijau (green revolution). Yaitu program intensifikasi dalam rangka peningkatan produk-produk pertanian. Sedangkan untuk sektor kelautan dikenal dengan istilah blue revolution atau revolusi biru. Bentuk konkret dari program revulusi biru adalah pengadaan motorisasi pada teknik penangkapkan ikan di laut yang diperlengkapi pula penggunaan jaring trawl atau pukat harimau. Hal ini berarti nelayan kebetulan punyak akses teknologi alat tangkap modern secara legal untuk melakukan eksplotasi sumberdaya perikanan secara penuh, tanpa peduli masalah batas ketersediaan sumberdaya perikanan dan keberlangsungan ekosistem laut terancam punah.

Namun, setelah berjalan hampir satu dasawarsa dampak kelangkaan sumberdaya perikanan yang diakibatkan oleh penggunaan trawl sangat dirasakan oleh para nelayan tradisional yang minim akses teknologi karena semakin susah mencari hasil tangkapan. Akibatnya, muncul kecemburuan sosial dan kerap berakhir konflik horisontal. Praktis pengoperasian trawl yang menyebabkan tangkap lebih (overfishing) pada tahun 1980 dilarang oleh pemerintah. Pada tahun 1980, untuk menghilangkan keresahan sosial di kalangan masyarakat nelayan akibat beroperasinya trawl dikeluarkanlah Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl atau pukat harimau.

Dengan alasan yang sama, untuk mengantisipasi masalah kelangkaan sumberdaya perikanan dan kelautan, Menteri Pertanian yang saat itu membawahi masalah kelautan mengeluarkan SK N0. 317/Kpts./Um/1975 yang isinya melarang pengoperasian penangkapan ikan di wilayah perairan laut Jawa Timur dengan menggunakan perahu motor berkekuatan lebih 35 PK dan alat tangkap purse seine yang panjangnya lebih dari 300 meter dan lebar 20 meter. Pelarangan ini dilakukan karena wilayah/teritorial yang ada dan potensi sumberdaya perikanan yang tersedia semakin langka (Kusnadi, 2006: 117). Kelangkaan sumberdaya perikanan sangat riskan memicu konflik sosial di kalangan masyarakat nelayan.


Kembali pada persoalan akar konflik sumberdaya perikanan; pertama, bahwa munculnya konflik di antara kelompok nelayan disebabkan oleh faktor kecemburuan sosial dan penurunan pendapatan hasil tangkapan (kelangkaan sumberdaya), sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kasus munculnya masalah kecemburuan sosial lebih disebabkan oleh perbedaan akses teknologi pealatan tangkap, yang dalam hal ini nelayan yang memiliki modal besar bisa secara mudah memilikinya dan sekaligus juga menguasai jaringan distribusi pasar.
Adapun faktor yang mengakibatkan penurunan hasil tangkapan yaitu kegiatan illegal fishing dan overfishing sebagai akibat dioperasikannya teknologi peralatan tangkap cukup besar, yang berimplikasi pada sempitnya fishing ground. Termasuk kasus penggundulan hutan bakau di kawasan tepi pantai yang sangat burfungsi untuk pengembangbiakan bibit-bibit ikan, nener, udang, kepiting dan binatang laut lainnya.

Faktor selanjutnya adalah, konflik sosial kelautan juga diakibatkan oleh ambiguitas pemikiran nelayan (lokal) yang mengklaim bahwa sumberdaya perikanan adalah bagian dari hak ulayat nelayan yang mendiami wilayah pesisir setempat (quasi private proverty). Padahal sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan sumberdaya milik umum (commons property recources) yang pemanfaatannya terbuka untuk siapapun atau open access property. Tetapi, berdasarkan pasal 33 UUD 1945, dan UU Pokok Perairan No. 6/1996, dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property). Atas dasar inilah diharapkan “intervensi” pemerintah dalam pengaturan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan dapat meredam konflik sosial di masyarakat.

Oleh karena itu, adanya perbedaan persepsi terkait penerapan konsep pemilikan dan penguasaan sumberdaya ini mendorong ambiguitas atau ketidakjelasan siapa yang berhak untuk mengelolanya. Hal ini selanjutnya mendorong berbagai stakeholder untuk mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini secara berlebihan, kalau tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, dan tidak ada insentif untuk melestarikannya, sehingga terjadi the tragedy of commons yang baru.

Dan yang terakhir adalah terkait faktor penegakan hukum yang lemah dan jauh dari rasa keadilan oleh masyarakat nelayan. Persaingan dalam memperebutkan hasil tangkapan seperti jenis ikan demersal dan udang laut (lobster) yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan pasar yang prospektif merupakan hal yang tak terelakan bagi masyarakat nelayan. Akibat perebutan daerah tangkapan serta keterbatasan teritorial distribusi spesies ikan komersial dan tidak dilaksanakannya aturan hukum yang berlaku dengan pengawasan yang ketat menyebabkan persaingan menjadi konflik yang cenderung destruktif. Kalau tidak ada ketegasan pihak yang berwenang dalam penegakan aturan main, maka sudah pasti akan berlaku motto ’only the fittes will survive’ dalam pertarungan memperebutkan area tangkap yang dianggap potensial.


Sampai sekarang ini konflik sosial terkait kelangkaan sumberdaya antara kelompok nelayan kursin dan kapal yang berasal dari Bulu atau dari daerah lain dengan nelayan tradisional yang umumnya berdomisi di wilayah Kecamatan Tambakboyo dan Jenu dan sekitarnya tetap berlansung. Walaupun konflik bersifat laten, namun intensitasnya belum juga menurun. Hal ini dipicu oleh ulah para nelayan kapal dan kursin yang selalu usil untuk melakukan aktivitas tangkapan (istilah lokal; nawur) di areal tendak atau anggas (sejenis rumpon ikan buatan), bahkan mereka juga tidak segan-segan untuk merusak rumpon tersebut. Bagi nelayan tradisional, tendak dan anggas merupakan tempat mereka menggantungkan nasib untuk mendapatkan hasil tangkapan, karena di situlah tempat yang digadang-gadang bermukimnya banyak ikan. Mengingat di beberapa tempat yang sebelumnya menjadi kawasan teritorial distribusi spesies ikan kian terbatas jumlahnya setelah rusaknya ekologi laut dan ekosistem terumbu karang akibat over eksploitasi dan kiriman limbah industri yang berasal dari daratan di sepanjang perairan pantai Tuban.


Penutup


Merupakan serangkaian penutup, di sini penulis mencoba menawarkan solusi untuk menanggulangi terjadinya proses kerusakan ekosistem kelautan di sepanjang kawasan perairan Pantai Utara Jawa Timur yang akhir-akhir ini gejalanya cenderung tambah parah. Dalam hal ini, maka sebagai langkah awal yang perlu dikerjakan adalah, Pemerintah Daerah hendaknya dapat bekerja lebih serius untuk membuat regulasi yang mengatur tata ruang kelautan dan lingkungan pesisir. Di mana konteks pembuatannya lebih di dasarkan pada kepentingan yang pro-nelayan dan demi menjaga kelangsungan sumberdaya laut dan pesisir. Dan yang perlu dihindari adalah adanya kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah (Perda) berdasarkan kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sebab, pengaturan demikian, telah dan akan melahirkan “ketidakpastian” hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir.


Langkah kedua merupakan kelanjutan dari yang pertama, yaitu penegakan aturan main terkait eksplorasi dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Para penegak hukum harus mengambil tindakan tegas bagi pihak-pihak yang melanggar hukum terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan. Lemahnya law infocement akan mudah menyulut konflik sosial terbuka yang cenderung anakhis dan destruktif. Dan tentu saja onkos yang harus ditanggung untuk resolusi cukup mahal di samping juga butuh waktu yang relatif lama untuk mengembalikan pada kondisi semula (integratif).

Ketiga, peningkatan program konservasi lingkungan pesisir dan kelautan yang berorientasi produktif dan bernilai manfaat bagi masyarakat pesisir. Misalnya untuk menanggulangi kerusakan biota laut diupayakan program pembuatan rumpon laut. Keberadaan rumpon buatan berfungsi layaknya terumbu karang yang bisa berfungsi sebagai persemaian biota laut dan tempat yang nyaman bagi ikan-ikan yang bertelor. Sedangkan untuk penghijaun kawasan pesisir sekaligus untuk pemberdayaan ekonomi perlu diadakan reboisasi kawasan pesisir dengan penanaman hutan mangrove yang bernilai ekonomis. Sebagaimana dilaporkan koran Tempo (6/05/2007) terdapat tanaman mangrove jenis Brugueragym norrhiza yang memiliki buah seperti kacang panjang dan bisa dibuat sebagai bahan baku dodol. Ada pula jenis tanaman bakau yang buahnya bisa dibikin bahan baku donat, lumpia, onde-onde, kolak, puding, sirup dan rujak pedada. Beberapa jenis mangrove seperti Lumnitzera spp dan Pemphis acidula juga merupakan jenis tanaman bakau yang bagus untuk dibuat bonsai serta memiliki nilai ekonomi tinggi. Harga tanaman hias ini bisa mencapai 2 juta perbuah.

Keempat, revitalisasi kearifan lokal (local wisdom) sebagai gerakan budaya sadar lingkungan. Di dalam maind set-nya sudah barang tentu terpola structure of knowledge, yang mengilhami bagaimanan masyarakat pesisir dapat mempertahankan survival-nya. Apakah hal itu berasal dari pengalaman hidup ketika bersentuhan dengan alam sehari-hari, keyakinan agama yang dianut, serta norma-norma sosial maupun adat-istiadat yang diwariskan, yang kemudian jamak disebut kearifan tradisonal, ketika demikian itu tetap dilestarikan. Walhasil, agenda keempat ini terkait erat dengan latar belakang sosial-keagamaan dan budaya masyarakat pesisir.

Masyarakat pesisir dikenal sebagai penganut Islam yang taat dan militan. Pada domain ini, selayaknya nilai-nilai agama (Islam) menjadi inspirasi moral-kesadaran terhadap lingkungan. Meminjam bahasa Ronal Higgins, sebagai new ethic of conciousness, --yang harus ditumbuhkan melalui kehidupan spiritual seseorang. Maka di sinilah makna pentingnya peranan para tokoh agama (ustadz, guru dan kiai) mendakwahkan nilai-nilai profetik-transformatif agama menjadi gerakan nyata terhadap kelestarian lingkungan. Bukan sekedar menjadikan agama sebatas pada masalah peribadatan (mahdlah) atau liturgi per se. Tapi misi dan peranan agama harus sanggup menjawab persoalan dan tantangan masyarakat dan bangsa secara nyata.

Selanjutnya, dalam ikhiyar menjaga kelestarian lingkuangan kelautan maka agenda revitalisasi kearifan tradisional (pesisir), dalam konteks konservasi berwawasan budaya (adat), hendaknya mengembalikan entitas komunitas pesisir sebagai masyarakat yang jatidiri sesungguhnya adalah masyarakat ekologis. Bahwa seluruh jiwa dan raga mereka tidak bisa dipisahkan dengan laut. Menurut Keraf (2005: 280-281) dalam hal ini ada tiga hal yang perlu dijadikan tinjauan. Pertama, cara pandang masyarakat pesisir tentang dirinya, alam dan hubungan antara manusia dan alam (laut). Kedua, kekhasan pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat pesisir (adat), sekaligus menentukan pola hidup dan perilaku masyarakat pesisir terhadap alam. Dan ketiga, perlindungan hak-hak masyarakat pesisir karena dengan melindungi hak-hak mereka secara otomatis lingkungan sekitarnya juga ikut terlindungi.

Akhir kata penulis tegaskan, bahwa problem krisis ekologi lingkungan bukan semata-mata persoalan teknis parsial, melainkan persoalan holistik dan kompleks yang menyangkut aspek budaya, sosial, moral dan politik. Wallahu a’lam.

Gravitasi Matahari dan Reklamasi Sebabkan Air Laut Pasang


Pengaruh gravitasi matahari ke bumi menyebabkan terjadinya fenomena air laut pasang di sekitar pesisir utara Kota Surabaya. Dalam beberapa hari ini, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Maritim Perak mencatat peningkatan ketinggian air laut sebanyak 150 sentimeter di atas permukaan air laut.

"Saat ini posisi bumi berada di antara matahari dan bulan. Karena bumi berada satu garis dengan matahari, maka pengaruh daya gravitasi matahari menyebabkan terjadinya fenomena air laut pasang," ujar Staf ahli meteorologi dan geofisika BMKG Maritim Perak Eko Prasetyo, Selasa (26/6) di Surabaya.

Menurut Eko, dalam tiga tahun terakhir, air laut pasang selalu terjadi di kawasan pesisir utara Jawa Timur. Jika dalam kondisi normal, rata-rata ketinggia n air pasang mencapai 110 hingga 120 sentimeter dari permukaan laut, kini peningkatan air pasang mencapai 150 sentimeter dari permukaan laut.

Reklamasi pantai

Selain akibat gravitasi matahari, fenomena air laut pasang juga disebabkan karena maraknya reklamasi atau penimbunan di daerah pesisir pantai. Reklamasi pantai mengurangi tempat-tempat limpahan air pasang sehingga air meluap hingga ke daratan.

"Berdasarkan analisa, air pasang juga disebabkan karena aktivitas reklamasi, pembangunan pemukiman, serta gudang-gudang yang banyak bermunculan di daerah pesisir utara," kata Eko.

Peneliti Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Sepuluh Nopember Amien Widodo mengatakan, Dinas Bina Marga dan Pematusan Surabaya diharapkan mulai mengamati, mengukur,dan memetakan air laut pasang. Beberapa hal yang perlu dipetakan adalah, luas areal genangan, lama dan kedalaman genangan, kecepatan arus atau debit air pasang, serta pendataan bangunan dan infrastruktur vital yang tergenang.

"Data ini sangat penting untuk perencanaan langkah kontigensi bila nanti air pasang terjadi bersamaan dengan banjir sungai," jelasnya.

sumber: http://lakpesdamtuban.blogspot.com/2009/06/gravitasi-matahari-dan-reklamasi.html

Studi Hidrologi dalam Kitab Inbat al-Miyah al-Khafiya


Hidrologi atau ''Ilmu Air'' merupakan cabang ilmu teknik sipil yang mempelajari pergerakan, distribusi, dan kualitas air di seluruh bumi, termasuk siklus hidrologi dan sumber daya air. Di era kejayaan peradaban Islam, para ilmuwan Muslim telah memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan hidrologi.

Salah seorang ilmuwan Muslim yang berjasa mengembangkan studi hidrologi adalah Muhammad al-Karaji, seorang saintis terkemuka dari Karaj, Persia. Lewat Kitab Inbat al-miyah al-Khafiya, al-Karaji mengkaji dan menyumbangkan pemikirannya dalam ilmu ekstraksi air bawah tanah. Berkat kehebatannya, ia bahkan mendapat julukan sebagai pelopor mesin air.

Studi hidrologi dibahas al-Kajari dalam Kitab Inbat al-Miyah al-Khafiya yang ditulisnya sekitar tahun 1000 M. Buku itu membahas cara untuk memperoleh atu mendapatkan air yang terdapat di bawah tanah. Air tersembunyi itu bisa dimanfaatkan untuk menggerakan roda ekonomi dan kehidupan sosial.

Menurut para sejarawan, al-Karaji, menulis karya matematika-nya di Baghdad, namun ia menyusun bukunya secara diam-diam di perairan di wilayah Jaba, Persia. Di wilayah itu terdapat pengembangan beberapa proyek hidrolik, termasuk qanat.

Inbat al-Miyah al-Khafiya merupakan satu-satunya buku teknik mesin karya Al-Karaji. Buku tersebut dicetak ulang pada era modern di Haydarabad tahun 1940. Edisi lain dikeluarkan pada tahun 1997 oleh Institute of Arabic Manuscripts di Kairo. Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh H Khadiv-Djam pada 1966.

Buku itu juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Prancis oleh Aly Mazaheri pada 1973. Dan muncul baru-baru ini dalam terjemahan bahasa Italia tahun 2007. Tidak ada terjemahan lengkap dalam bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Kitab ini disimpan di perpustakaan Universitas Pennsylvania, Sam Fogg, London, pada Desember 2000.

Dalam pengantar buku itu, al-Karaji mengungkapkan, dirinya terinspirasi membuat buku itu ketika tiba di Baghdad. Di metropolis intelektual dunia itu, ia melihat semua orang, dari mulai anak-anak hingga orang tua sangat mencintai ilmu pengetahuan. Hal tersebut mendorongnya untuk mengarang buku matematika, khususnya mengkaji aritmatika dan geometri.

Sekembali dari Baghdad, ia kemudian mulai melakukan penelitian ilmiah. Berbekal dukungan dari penguasa Muslim bernama Abu Ghanim Ma'ruf bin Muhammad, al-Kajari lalu meneliti dan mencurahkan pikirannya bagi pengembangan hidrologi. Ia lalu memutuskan untuk menulsi buku tentang air yang tersembunyi di perairan.

Inbat al-Miyah al-Khafiya merupakan karya manual tentang hidrolik air yang sangat baik. Selain membahas hidrologi, buku ini juga berisi beberapa catatan biografis otomatis, serta diskusi dari serangkaian konsep relatif terhadap geografi dunia. Tak hanya itu, buku ini juga dilengkapi dengan beberapa pertanda dalam fenomena alam, dan memberikan perhatian yang besar untuk survei teknik, terutama hidrologi.

Penulis menjelaskan jumlah instrumen survei, dasar geometris yang ia jelaskan dengan rincian nyata tentang konstruksi dan cara kerja qanat. Al-Karaji juga menjelaskan terowongan bawah tanah (ia membuat sebuah kiasan untuk Isfahan) untuk menyediakan air di tempat gersang.

"Dia juga membahas dasar legalitas pembangunan sumur dan saluran hidrolik. Di sini dia merujuk kepada sekolah fiqh (hukum Islam) dan menunjukkan bahwa dia menyadari hukum dimensi hidrologi, sebagai techno-disiplin ilmu terkait erat dengan masyarakat dan ekonomi," jelas Muhammad Abattouy.

Sebagai risalah ilmiah, buku ini merupakan kontribusi asli dalam hidrologi, survei dan aspek lain dari geologi, dan membuktikan lanjutan kepada pengetahuan tentang tanah sekitar abad ke-10 M di dunia Islam. Al-Karaji mengungkap secara mendalam dan tentang teori tanah yang terbilang sulit untuk dipahami. Kontribusinya dalam bidang ini adalah yang tertua yang dikenal dalam bentuk teks pada subjek.

Pengetahuannya tentang air bawah tanah pada umumnya sesuai dengan pemahaman subjek modern. Walaupun ia tidak pernah menampilkan seluruh siklus seperti yang kita tahu, ia mencatat dalam berbagai petikan dari bukunya masing-masing tahap individu.

Isi buku kira-kira dapat diringkas sebagai berikut. Risalah yang dibagi menjadi 25 bab dapat dikelompokkan dalam tujuh bagian atau bagian. Bagian pertama adalah sebuah pengenalan risalah, dimulai dengan basmalah dan penegasan bahwa buku itu didedikasikan kepada Menteri Abu Ghanim Ma'ruf bin Muhammad..

Pada bagian kedua (bab 2 hingga 11), penulis menjelaskan berbagai pertimbangan alam pada filosofi alami geologi, aspek bumi, air tanah, sumber air, pegunungan, berbagai jenis air, metode untuk membedakan antara air, danpertimbangan tentang tanah. Bagian ini merupakan dasar risalah dalam istilah ilmu pengetahuan karena kontekstual hidrologi yang lebih besar dalam bidang geologi dan ilmu alam.

Sedangkan, pada bagian ketiga (bab 12 hingga 14), terdiri dari risalah hukum konten berdasarkan argumen dari berbagai faham atau aliran Islam tentang hukum mengenai qanat, penggaliannya, karakteristik dan penggunaan. Bagian ini adalah latar belakang sosial dari karya.

Bagian keempat (bab 15 hingga 17), berpusat pada tema teknik dalam hidrologi, terutama yang relevan dengan transportasi air, penggalian qanat, air aqueducts dan keterangan yang diperlukan teknik untuk pemeliharaan mereka.Bagian kelima (bab 18- hingga 19) membahas tentang survei dan instrumen, keterangan selanjutnya dan demonstrasi teorem penggunaannya, pelaksanaan survei teknik di hidrologi.

Pada bagian keenam (bab 20 hingga 24), membahas tentang analisis survei metode dan instrumen lanjutan. Al-Kajari s menjelaskan survei instrumen tradisional dan prosedurnya. "Dalam bab 23, ia menjelaskan beberapa instrumen yang berhasil ditemukannya,'' jelas Donald R Hill, dalam karyanya Islamic Science and Engineering. Bagian ketujuh (bab 25), merupakan pendalaman dari semua bab. Pada bab itu pula, al-Karaji memberikan beberapa nasihat praktis kepada sang menteri yang menyeponsori penulisan buku itu.

Buku al-Karaji merupakan naskah tertua tentang ilmu air bawah tanah. Isinya sangat menakjubkan. Ia telah telah akrab dengan konsep baru dan prinsip-prinsip yang melekat dengan siklus hidrologis, klasifikasi dari tanah, gambaran aquifers, dan mencari air tanah.

"Banyak dari buku Al-Karaji berkaitan dengan teknik untuk mengeksplorasi tanah, terutama untuk menggali sumur dan qanat. Ia menjelaskan metode yang masih digunakan di banyak negara di Timur Tengah dan Asia," jelas Mehdi Nadji dan Rudolf Voight dalam karyanya Exploration for Hidden Water by M. Karaji: The Oldest Textbook on Hydrology Groundwater. desy susilawati


Mengenal Qanat Karya al-Karaji

Qanat adalah teknik irigasi yang khusus untuk memanfaatkan air bawah tanah dengan menggunakan pipa. Pada era keemasan islam, qanat merupakan salah satu metode yang paling efektif untuk menyediakan air. Teknik itu kemungkinan berasal dari utara Iran pada era kuno, namun tahap sistem pengadaan air ini melalui jarak jauh telah di gunakan secara luas di dunia Muslim di abad pertengahan dan hingga masa modern.

Berdasarkan perkiraan, sekitar 75 persen air yang digunakan di Iran berasal dari qanat yang panjangnya lebih dari 100 ribu mil. Di luar Iran, qanat masih digunakan pada beberapa bagian negara Islam, terutama di tenggara Semenanjung Arab dan Afrika Utara. Sistem Qanat yang telah digunakan opada era Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah.

Khalifah al-Mutawakkil (847-866 M) membangun sebuah sistem qanat untuk memasok air ke istana baru di Samarra. Dalam Inbat al-Miyah al-Khafiyya, menurut Muhammad Abattoey, al-Karaji mengungkapkan secara rinci dan baik tentang pembangunan saluran qanat, lapisannya, perlindungan terhadap kerusakan, pembersihan dan pemeliharaannya.

Satu bagian dari buku itu dikhususkan untuk membahas teknik menjelajahi air tanah, terutama untuk menggali qanat di daerah berpasir. Sebagai contoh, ia menjelaskan cara survei tentang kemiringan qanat dan bagaimana bekerja di bawah keadaan yang sulit. Pada keadaan tertentu, al-Karaji menyarakan agar pembangunan qanat dihentikan, karena bisa membahayakan keselamatan.

Kesimpulannya, tampak jelas bahwa Al-Karaji telah akrab dengan dasar hidrologi, geologi, teknik dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan tanah air, yang dikenal saat ini. Al-Karaji memamerkan keterampilan dan keahlian yang luas dalam diskusi tentang pembangunan qanat, klasifikasi tanah, mencari air tawar/jernih, dan pengetahuan dalam berbagai jenis aquifers dan karakteristik hidrolis. Al-Karaji pun dikenal sebagai pelopor karya struktur geologi pada penggunaan tanaman tumbuh sebagai indikator dari tanah air waduk (aquifers)..she

sumber: http://blog-dari.blogspot.com/2009/09/studi-hidrologi-dalam-kitab-inbat-al.html

daftar perguruan tinggi di jawabarat

Minggu, 19 Juni 2011

Institut

[sunting] Politeknik

[sunting] Sekolah Tinggi

* STIE Triguna, Jl. siliwangi No.97,telp. (0251)8333683, Bogor

[sunting] Akademi

KUMPULAN FOTO DARI DINDING FACEBOOK

 
 
 

YANG SAYA UCAPKAN UNTUK ANDA

......terimakasih telah berkesempatan mengunjungi blog kami .....